Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Transgender dalam Pandangan Islam




Istilah transgender dalam Bahasa Arab:

Banci (Pria menjadi Wanita):


خنث : خنَّثَ يُخنِّث، خَنِّثْ، تخنيثًا، فهو مخنِّث، والمفعول مخنَّث
• خنَّث فلانًا: صيَّره خَنِثًا، أظهره بمظهر النساء "خنّث المؤلف بطل روايته".
• خنَّث كلامَه: ألانه تشبُّها بكلام النِّساء "يُخنِّث حديثَه تملُّقًا وتذلُّلاً".

خنّث هُ : صيّره خنيثًا : menjadikan bertingkah laku seperti orang perempuan

مُخَنَّث : yang feminin , tidak jantan , kewanita - wanitaan , seperti perempuan , banci , waria



ترجل : ترجَّلَ يترجَّل، تَرَجَّلْ، ترجُّلاً، فهو مُترجِّل
• ترجَّل المسافرُ: رجِلَ؛ مشى على قدميه "ترجَّل الحجيجُ".
• ترجَّل الرَّاكبُ: نزل عن رَكوبته ومشى على قدميه "ترجَّل عن حصانه/ سيارته" رآه فترجَّل له: نزل عن دابَّته احترامًا له.
• ترجَّلتِ المرأةُ: استرجلت؛ تشبَّهت بالرجل "لَعَنَ اللهُ الْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ [حديث]".


تَرَجَّلَ - يَتَرَجَّلُ : turun , mendarat , menuju ke bawah

تَرَجَّلَتْ الـمَرْأَةُ : menjadi seperti laki laki


Definisi Transgender menurut para ahli:

Seperti dikutip dari Tempo.com, Transgender adalah individu yang merasa bahwa identitas gendernya berbeda atau tidak sesuai dengan jenis kelamin biologisnya sejak ia lahir. Identitas gender sendiri merujuk pada konsepsi atau sense seseorang mengenai gendernya sendiri. Sense ini berupa identifikasi diri kita sebagai laki-laki, perempuan, atau tidak keduanya.

Saat baru lahir, dokter mungkin akan dengan gamblang menentukan bahwa kita adalah bayi perempuan atau laki-laki. Keputusan ini diberikan berdasarkan komponen biologis yang kita bawa, seperti alat kelamin, kromosom, dan hormon.

Seiring kita tumbuh, banyak orang bisa mengembangkan identitas gender bahwa ia memang seorang laki-laki karena memiliki penis, atau seorang perempuan karena memiliki vagina. Kelompok orang ini disebut cisgender. Sementara itu, beberapa orang merasa bahwa jati diri mereka berbeda dengan jenis kelaminnya. Orang-orang inilah yang disebut transgender.

Selanjutnya apa perbedaan transgender dengan transeksual?, Kalau transgender adalah orang yang merasa identitas gendernya berbeda dengan jenis kelamin yang ia bawa ketika lahir. Sementara itu, transeksual seringkali merujuk pada transgender yang melakukan usaha perubahan kelamin, seperti dengan tindakan operasi atau terapi hormon.


Memahami Fatwa MUI Nomor 03 Tahun 2010 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Alat Kelamin.

Dalam bagian pertimbangan dari fatwa ini disebutkan:
  1. Bahwa di tengah masyarakat saat ini muncul praktek penggantian alat kelamin dari jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya, yang kemudian status jenis kelamin baru tersebut disahkan pengadilan;
  2. Bahwa di tengah masyarakat juga muncul praktek penyempurnaan alat kelamin kepada seseorang yang memiliki kelainan, misalnya seorang khuntsa yang fungsi alat kelamin laki-lakinya lebih dominan atau sebaliknya, dan atas pertimbangan medis, dilakukan operasi guna menyempurnakan alat kelamin tersebut;
  3. Bahwa terhadap permasalahan tersebut muncul pertanyaan di tengah masyarakat tentang hukum-hukum terkait dengan masalah tersebut diatas.

Selanjutnya dalam menentukan hukum permasalahan diatas, Fatwa ini murujuk dalil yang bersumber dari Al-Qur'an, Hadis serka kaidah Ushul Fiqih sebagai berikut:

DALIL AL'QURAN


Manusia harus mengukiti fitrahnya

Al-Qur'an surah Ar-Rūm ayat 30

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ  لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ
 
Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu.588) Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

TAFSIR TAHLILI
(30) Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad meneruskan tugasnya dalam menyampaikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrik yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah”, terdapat perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti agama Allah yang telah dijadikan-Nya bagi manusia. Di sini “fitrah” diartikan “agama” karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surah yang lain:
 
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
 
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (aż-Żāriyāt/51: 56) ;
 
Menghadapkan wajah (muka) artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada yang lain. “Wajah” atau “muka” dikhususkan penyebutan di sini karena merupakan tempat berkumpulnya semua panca indera, dan bagian tubuh yang paling terhormat.
Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abū Hurairah yang berbunyi:
 
مَامِنْ مَوْلُوْدٍ اِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا يُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ. ثُمَّ يَقُوْلُ اَبُوْهُرَيْرَةَ: وَاقْرَءُوْا اِنْ شِئْتُمْ: فِطْرَتَ اللهِ الَّتِىْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ. وَفِى رِوَايَةٍ: حَتَّى تَكُوْنُوْا اَنْتُمْ تَجْدَعُوْنَهَا. قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَرَأَيْتَ مَنْ يَمُوْتُ صَغِيْرًا؟ قَالَ: اَلله ُاَعْلَمُ بِمَا كَانُوْا عَامِلِيْنَ. (رواه البخاري ومسلم) 
 
Tidak ada seorang anak pun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. Kedua ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan, atau memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya. Kemudian Abū Hurairah berkata, “Bacalah ayat ini yang artinya: … fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.” Dalam riwayat lain, “Sehingga kamu merusaknya (binatang itu).” Para sahabat bertanya, “Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu kecil?” Rasul menjawab, “Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat.” (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim) ;Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah. Ada yang berpendapat bahwa fiṭrah itu artinya “Islam”. Hal ini dikatakan oleh Abū Hurairah, Ibnu Syihāb, dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan utama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah ayat (30) dan hadis Abū Hurairah di atas. Mereka juga berhujah dengan hadis bahwa Rasulullah saw bersabda kepada manusia pada suatu hari:
 
اَلاَ اُحَدِّثُكُمْ بِمَا حَدَّثَنِيَ اللهُ فِى كِتَابِهِ: اِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ وَبَنِيْهِ حُنَفَاءَ مُسْلِمِيْنَ وَاَعْطَاهُمُ الْمَالَ حَلاَلاً  لاَحَرَامَ فِيْهِ فَجَعَلُوْا مِمَّا اَعْطَاهُمُ اللهُ حَلاَلاً وَحَرَامًا. (رواه احمد عن حماد)
 
Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram . . . “(Riwayat Aḥmad dari Ḥammād) ;Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir. Adapun maksud sabda Nabi saw tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik, beliau menjawab, “Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui,” yaitu apabila mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis al-Bukhārī dari Samurah bin Jundub dari Nabi saw. Sebagian dari hadis yang panjang itu berbunyi sebagai berikut:
 
وَاَمَّا الرَّجُلُ الطَّوِيْلُ الَّذِيْ فِيْ رَوْضَةٍ فَاِبْرَاهِيْمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ وَاَمَّاالْوِلْدَانُ فَكُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، قَالَ: فَقِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهِ، وَاَوْلاَدُ الْمُشْرِكِيْنَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَاَوْلاَدُ الْمُشْرِكِيْنَ. (رواه البخاري عن سمرة بن جندب)
 
Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as. Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah. Samurah berkata, “Maka Rasulullah ditanya, ‘Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik?’ Rasulullah menjawab, ‘Dan anak-anak musyrik’.” (Riwayat al-Bukhārī dari Samurah bin Jundub);Sebagian ulama lain mengartikan “fiṭrah” dengan “kejadian” yang dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dikatakan, “Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya.” Dengan kejadian itu, sang anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan. Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujjah bahwa “fiṭrah” itu berarti “kejadian” dan “fāṭir” berarti “yang menjadikan” dengan firman Allah:
 
قُلِ اللهم فَاطِرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ;
 
Katakanlah, “Ya Allah, Pencipta langit dan bumi.” (az-Zumar/39: 46) ;
 
وَمَا لِيَ لَآ اَعْبُدُ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ;
 
Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku. (Yāsīn/36: 22)
 
 ;قَالَ بَلْ رَّبُّكُمْ رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الَّذِيْ فَطَرَهُنَّۖ;
 
Dia (Ibrahim) menjawab, “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan (pemilik) langit dan bumi; (Dialah) yang telah menciptakannya.” (al-Anbiyā'/21: 56) ;Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tidak ada perubahan. Allah tidak akan mengubah fitrah-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang menyalahi aturan itu maksudnya ialah tidak akan sengsara orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara. Menurut Mujāhid, artinya ialah tidak ada perubahan bagi agama Allah. Pendapat ini didukung oleh Qatādah, Ibnu Jubair, aḍ-ahhak, Ibnu Zaid, dan an-Nakhā'i. Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan. ‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās bahwa Umar bin Khaṭṭāb berkata, “Tidak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan.” Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.
Ungkapan “itulah agama yang lurus”, menurut Ibnu ‘Abbās, bermakna “itulah keputusan yang lurus”. Muqātil mengatakan bahwa itulah perhitungan yang nyata. Ada yang mengatakan bahwa agama yang lurus itu ialah agama Islam, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka tidak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadīm) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusan-Nya.

Ancaman merubah ciptaan Allah

Al-Qur'an surah An-Nisā' ayat 119

وَّلَاُضِلَّنَّهُمْ وَلَاُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ اٰذَانَ الْاَنْعَامِ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يَّتَّخِذِ الشَّيْطٰنَ وَلِيًّا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِيْنًا
 
Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, membangkitkan angan-angan kosong mereka, menyuruh mereka (untuk memotong telinga-telinga binatang ternaknya) hingga mereka benar-benar memotongnya, 166) dan menyuruh mereka (mengubah ciptaan Allah) hingga benar-benar mengubahnya.” 167) Siapa yang menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah sungguh telah menderita kerugian yang nyata.

TAFSIR TAHLILI
(119) Pada ayat ini diterangkan tindakan dan usaha setan dalam menggunakan potensi jahat yang ada pada manusia, agar cita-citanya mencelakakan manusia dapat tercapai yaitu dengan:
1. Berusaha memalingkan manusia dari kepercayaan yang benar dengan mengaburkan petunjuk Allah ke jalan yang benar, sehingga mereka tersesat dan menempuh jalan yang diinginkan setan.
2. Berusaha memperdayakan pikiran manusia dengan khayalan-khayalan yang mustahil terjadi dan dengan angan-angan kosong, sehingga mereka memandang baik segala perbuatan yang dilarang, serta menanamkan di dalam hati dan pikirannya bahwa kesenangan hidup di dunia itu adalah kesenangan yang pasti tercapai sedang kesenangan dan kebahagiaan di akhirat adalah kesenangan yang diragukan adanya.
3. Berusaha menyesatkan manusia dengan menjadikan mereka memandang haram suatu perbuatan yang halal, sebaliknya memandang yang halal sebagai sesuatu perbuatan yang haram, sebagaimana yang terdapat di kalangan Arab jahiliah. Menurut kepercayaan Arab jahiliah sebagian binatang yang akan dikorbankan untuk berhala dipotong atau dibelah telinganya. 
Bila binatang itu telah dipotong atau dibelah telinganya berarti telah menjadi kepunyaan berhala, karena itu tidak boleh lagi dikendarai atau dipergunakan untuk suatu keperluan; binatang itu dibiarkan lepas dan tidak boleh diganggu seorang pun.
4. Mengubah ciptaan Allah, menurut sebagian mufasir, ialah mengubah ketentuan-ketentuan yang telah diciptakan Allah, seperti mengebiri orang laki-laki agar ia dapat dijadikan penjaga istri-istri atau budak-budak perempuan seorang pembesar, sebagaimana yang banyak dilakukan di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri lain zaman dahulu. Menurut sebagian mufassir, yang dimaksud dengan ciptaan Allah ialah agama Allah, karena agama Allah telah menjadi fitrah bagi manusia. Allah berfirman:
 
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ  لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ
 
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (ar-Rūm/30:30).;
 
Manusia diciptakan Allah mempunyai fitrah beragama tauhid, mengakui keesaan Allah, tidak bersekutu dengan sesuatu, hanya Allah saja yang berhak disembah. Seandainya ada manusia tidak mengakui keesaan Allah, berarti pengaruh lingkungan alam sekitarnya telah mengalahkan fitrahnya. Termasuk yang mempengaruhi manusia itu ialah usaha setan untuk melenyapkan naluri itu, sebagai yang disebutkan hadis:
 
عَنْ عِيَاضِ بْنِ حَمَّادِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: اِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاحْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ مَا اَحْلَلْتُ لَهُمْ (رواه مسلم)
 
Dari ‘Iyād bin Ḥammād, Bersabda Rasulullah saw, berfirman Allah ‘Azza wajalla, “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku cenderung kepada (agama-Ku), maka datanglah setan kepada mereka, lalu setan itu memalingkan mereka dari agamanya dan ia mengharamkan apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.” (Riwayat Muslim).;
 
Allah memperingatkan hamba-Nya dengan pernyataan bahwa barang siapa yang mengikuti bisikan, tipu daya dan keinginan setan berarti dia telah jauh dari rahmat dan karunia-Nya dan telah merugi di dunia (dan di akhirat), karena setan itu selalu berusaha menggunakan segala kelemahan manusia untuk melaksanakan janjinya kepada Allah.


Allah mentakdirkan sesuatu pasti ada hikmahnya.

Al-Qur'an surah Al-Baqarah ayat 216

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ
 
Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.

TAFSIR TAHLILI
(216) Dengan turunnya ayat ini hukum perang itu menjadi wajib kifayah dalam rangka membela diri dan membebaskan penindasan. Bila musuh telah masuk ke dalam negeri orang-orang Islam, hukumnya menjadi wajib 'ain. Hukum wajib perang ini turun pada tahun kedua Hijri. Ketika masih di Mekah (sebelum Hijrah) Nabi Muhammad saw dilarang berperang, baru pada permulaan tahun Hijrah, Nabi diizinkan perang bilamana perlu.
Berperang dirasakan sebagai suatu perintah yang berat bagi orang-orang Islam sebab akan menghabiskan harta dan jiwa. Lebih-lebih pada permulaan Hijrah ke Medinah. Kaum Muslimin masih sedikit, sedang kaum musyrikin mempunyai jumlah yang besar. Berperang ketika itu dirasakan sangat berat, tetapi karena perintah berperang sudah datang untuk membela kesucian agama Islam dan meninggikan kalimatullah, maka Allah menjelaskan bahwa tidak selamanya segala yang dirasakan berat dan sulit itu membawa penderitaan, tetapi mudah-mudahan justru membawa kebaikan. Betapa khawatirnya seorang pasien yang pengobatannya harus dengan mengalami operasi, sedang operasi itu paling dibenci dan ditakuti, tetapi demi untuk kesehatannya dia harus mematuhi nasehat dokter, barulah penyakit hilang dan badan menjadi sehat setelah dioperasi.
Allah memerintahkan sesuatu bukan untuk menyusahkan manusia, sebab di balik perintah itu akan banyak ditemui rahasia-rahasia yang membahagiakan manusia. Masalah rahasia itu Allah-lah yang lebih tahu, sedang manusia tidak mengetahuinya.


Allah Melaknat penyuka sesama jenis


Al-Qur'an surah Al-A‘rāf ayat 81

اِنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّنْ دُوْنِ النِّسَاۤءِۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ

Sesungguhnya kamu benar-benar mendatangi laki-laki untuk melampiaskan syahwat, bukan kepada perempuan, bahkan kamu adalah kaum yang melampaui batas.”

TAFSIR TAHLILI
(81) Ayat ini kelanjutan dari ayat 80 menerangkan, bahwa Nabi Lut menegaskan kepada kaumnya bahwa sesungguhnya mereka melakukan homoseksual, perbuatan yang bukan saja bertentangan dengan fiṭrah manusia tetapi juga menghambat perkembangbiakan manusia. Perbuatan homoseksual hanya bertujuan pelepasan nafsu birahi semata karena pelakunya lebih rendah dari hewan. Hewan masih memerlukan jenis kelamin lain untuk memuaskan nafsu birahinya dan keinginan mempunyai keturunan. Misalnya binatang yang merayap dan yang terbang memulai kehidupannya dengan betina dan jantan untuk bersama-sama membuat sarang di atas pohon. Sedangkan kelakukan homoseks tidak mempunyai maksud demikian  selain melampiaskan nafsu birahi semata.
Dengan bersemangat Nabi Luṭ mengutuk dan mencemoohkan tingkah laku mereka. Pada akhir ayat ini diutarakan bahwa Nabi Luṭ selalu mengakhiri ucapannya dengan kata-kata,
“Tetapi wahai kaumku, kamu adalah benar-benar golongan yang melampaui batas, karena kamu meninggalkan akal sehat dan menyimpang dari fitrah manusia, sehingga kamu tidak memikirkan akibat buruk dari tingkah lakumu, yaitu memutuskan keturunan, merusak kesehatan dan melanggar peradaban.” 
Jika kaum Lut tidak menyimpang dari fitrah, selalu berpikir sehat dan berakhlak mulia, tentu akan menjauhi perbuatan keji dan terkutuk itu. Kecaman atas perbuatan umat Nabi Lut berulang kali dikemukakan dengan ungkapan yang beragam, seperti firman Allah berikut:
 
اَىِٕنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّنْ دُوْنِ النِّسَاۤءِ ۗبَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ  

Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat(mu), bukan (mendatangi) perempuan? Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). (an-Naml/27: 55);Juga firman Allah pada ayat yang lain yaitu:

اَىِٕنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُوْنَ السَّبِيْلَ ەۙ وَتَأْتُوْنَ فِيْ نَادِيْكُمُ الْمُنْكَرَ ۗ 

Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” (al-‘Ankabūt/29: 29)





Larangan tolong menolong dalam kemaksiatan


Al-Qur'an surah Al-Mā'idah ayat 2

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحِلُّوْا شَعَاۤىِٕرَ اللّٰهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَاۤىِٕدَ وَلَآ اٰۤمِّيْنَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗوَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا ۗوَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ اَنْ صَدُّوْكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اَنْ تَعْتَدُوْاۘ وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
 
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar (kesucian) Allah,193) jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram,194) jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban)195) dan qalā’id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda),196) dan jangan (pula mengganggu) para pengunjung Baitulharam sedangkan mereka mencari karunia dan rida Tuhannya!197) Apabila kamu telah bertahalul (menyelesaikan ihram), berburulah (jika mau). Janganlah sekali-kali kebencian(-mu) kepada suatu kaum, karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya.

TAFSIR TAHLILI
(2) Menurut riwayat Ibnu Juraij dan Ikrimah, bahwa seorang bernama al-Huṭām al-Bakri datang ke Medinah dengan unta membawa bahan makanan. Setelah dijualnya makanan itu ia menjumpai Nabi, lalu membaiat diri masuk Islam. Setelah ia berpaling pergi, Nabi memperhatikannya seraya bersabda kepada para sahabatnya yang ada di situ: “Dia datang kepada saya dengan wajah orang yang berdusta dan berpaling pergi membelakangi saya seperti penipu.” Setelah al-Huṭām tiba di Yamamah, lalu ia murtad dari Islam. Berikutnya pada bulan Zulkaidah, ia keluar lagi dengan untanya hendak menjual barang makanan ke Mekah. Tatkala para sahabat Nabi mendengar berita ini, beberapa orang dari golongan Muhajirin dan Ansar, bersiap keluar untuk menghajarnya di tengah jalan, maka turunlah ayat yang kedua ini.179 Akhirnya mereka tidak jadi melakukannya.
Pada ayat kedua ini Allah menerangkan kepada orang-orang yang beriman; lima larangan penting yang tidak boleh dilanggar yaitu:
1. Melanggar larangan-larangan Allah, yaitu melanggar amalan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dalam ibadah haji dan lain-lainnya.
2. Melanggar kehormatan bulan haram, yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab, yang dilarang pada bulan-bulan tersebut berperang kecuali membela diri karena diserang.
3. Mengganggu binatang-binatang hadyu, yaitu unta, lembu dan sejenisnya, kambing, biri-biri dan sejenisnya yang dihadiahkan kepada Ka‘bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih di tanah haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin.
4. Mengganggu qalā’id yaitu binatang-binatang hadyu (kurban), yang sudah dikalungi dengan tali, yang menunjukkan bahwa binatang itu dipersiapkan secara khusus untuk dikurbankan dan dihadiahkan kepada Ka‘bah. Menurut pendapat yang lain, termasuk juga orang-orang yang memakai kalung yang menunjukkan bahwa dia hendak mengunjungi Ka‘bah yang tidak boleh diganggu, seperti yang dilakukan orang Arab pada zaman jahiliah.
5. Menghalangi dan mengganggu orang yang mengunjungi Baitullah untuk  mencari karunia (rezeki) Allah seperti berdagang dan mencari keridaan-Nya, yaitu mengerjakan haji dan umrah. Menurut jumhur yang tidak boleh dihalang-halangi itu ialah orang-orang mukmin, sedang orang-orang kafir tidak diperbolehkan lagi masuk tanah haram sesuai dengan firman Allah:
 
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا ۚ 
 
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang yang musyrik itu najis (jiwa), sebab itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam sesudah tahun ini .” (at-Taubah/9:28).;Selanjutnya ayat itu menjelaskan, bahwa kalau sudah tahallul, artinya, sesudah selesai mengerjakan ibadah haji atau umrah, dibolehkan berburu di luar tanah haram sedang di tanah haram tetap tidak dibolehkan, dilarang mencabut tumbuh-tumbuhan dan mengganggu binatang buruannya, berbuat aniaya terhadap orang yang menghalang-halangi masuk Masjidilharam, seperti kaum musyrikin menghalang-halangi orang-orang mukmin mengerjakan umrah yang ditetapkan pada perdamaian Hudaibiyah. Kemudian bahagian terakhir ayat ini mewajibkan orang-orang mukmin tolong-menolong sesama mereka dalam berbuat kebaikan dan bertakwa, untuk kepentingan dan kebahagiaan mereka. Dilarang tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran serta memerintahkan supaya tetap bertakwa kepada Allah agar terhindar dari siksaan-Nya yang sangat berat.


Sesuatu yang haram menjadi boleh jika keadaan darurat


Al-Qur'an surah An-Naḥl ayat 115

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
 
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

TAFSIR TAHLILI
(115) Dalam ayat ini, Allah menjelaskan makanan yang diharamkan bagi orang-orang Islam. Makanan yang diharamkan dalam ayat ini ialah bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih atas nama berhala atau lainnya selain nama Allah. Pengharaman terhadap makanan tersebut semata-mata hak dan kebijaksanaan Allah swt dalam membimbing hamba-hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah:
 
اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ  
 
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki. (al-Mā'idah/5: 1);Di antara hikmah atau maksud pelarangan terhadap makanan itu ada yang dapat dijangkau oleh akal (ta‘aqqulī), ada pula yang tidak terjangkau oleh akal (ta‘abbudī). Bagi setiap orang Islam wajib menaati larangan Allah dengan ikhlas dan penuh keimanan. 
Bangkai ialah hewan yang mati wajar oleh sebab alamiah, atau mati karena tidak disembelih menurut aturan Islam. Termasuk dalam pengertian bangkai di sini ialah binatang yang mati tercekik, mati terjepit (terpukul), mati terjatuh, ditanduk, dan dimakan oleh binatang buas.
Firman Allah swt:
 
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ;
 
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. (an-Nahl/16:115);
 
Semua bangkai haram dimakan kecuali bangkai ikan, sebagaimana firman Allah swt:
 
اُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهٗ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ 
 
Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. (al-Mā'idah/5: 96)
Darah yang diharamkan ialah darah yang mengalir atau darah yang dibekukan (marus). Hati dan ginjal tidak dipandang darah yang haram dimakan. Hadis Nabi saw:
 
أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ، فَاَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْجَرَادُ وَالْحُوْتُ وَاَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّهَالُ. (رواه أحمد وابن ماجه عن ابن عمر)
 
Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan darah. Dua bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang, dan dua darah itu adalah hati dan limpa. (Riwayat Aḥmad dan Ibnu Mājah dari Ibnu ‘Umar);
 
Termasuk dalam pengertian daging babi ialah lemak, tulang dan seluruh bagian-bagiannya serta semua produk yang dibuat dari unsur babi dan turunannya. Babi tergolong binatang ternak yang paling kotor cara hidup dan makannya. Dagingnya mengandung bibit cacing pita yang banyak menimbulkan penyakit pada tubuh manusia.
Allah mengharamkan binatang yang disembelih yang dengan sengaja menyebut nama selain Allah, seperti nama patung, jin, dewa, wali, dan sebagainya. Pelarangan itu bertujuan untuk mencegah hal-hal yang cenderung kepada syirik.
An-Nawawi dalam kitab Syaraḥ Muslim mengatakan bahwa jika maksud penyembelih menyebut nama selain Allah itu untuk membesarkan nama tersebut dan meniatkannya sebagai ibadah kepadanya, maka perbuatan itu dipandang syirik. Jika penyembelih bersikap demikian, dapat dinilai keluar dari agama (murtad). Demikian penjelasan an-Nawawi ketika memberikan uraian pada Hadis Nabi saw:
 
لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ (رواه مسلم عن عليّ بن أبي طالب)
 
Allah mengutuk orang-orang yang menyembelih hewan untuk selain Allah. (Riwayat Muslim dari Ali bin Abī Ṭālib);
 
Agama Islam adalah agama yang selalu memberi kelapangan kepada penganutnya. Tidak  ada dalam Islam hal-hal yang menyusahkan dan mempersulit keadaan. Oleh karena itu, segala makanan yang diharamkan boleh dimakan bilamana seseorang berada dalam keadaan terpaksa atau darurat. Misalnya, seorang pemburu di tengah hutan dalam keadaan perut kosong jika dibiarkan dapat membinasakan dirinya sedang makanan lainnya tidak ada, dia diizinkan memakan makanan yang haram untuk mengatasi keadaannya, dengan syarat tidak didorong oleh keinginan untuk memakan makanan yang haram itu sendiri. Jika dia memakan makanan itu melebihi apa yang diperlukan, tidak dibenarkan. Sebab, hal itu dapat menimbulkan kesulitan baru bertalian dengan makanan yang mengandung penyakit itu. Sesungguhnya Allah swt mengampuni apa yang diperbuat hamba-Nya sewaktu dalam kesulitan, dan mengasihi mereka dengan memberi kelonggaran dalam kehidupan mereka di dunia.


DALIL HADIS


Hadits Imam Bukhari Kitab ke-45, Bab [Bab] Surat al Hasyr ayat 7, hadits no 4507 : 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُوتَشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ فَجَاءَتْ فَقَالَتْ إِنَّهُ بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ فَقَالَ وَمَا لِي أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ هُوَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَقَالَتْ لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ فَمَا وَجَدْتُ فِيهِ مَا تَقُولُ قَالَ لَئِنْ كُنْتِ قَرَأْتِيهِ لَقَدْ وَجَدْتِيهِ أَمَا قَرَأْتِ
{ وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا }
قَالَتْ بَلَى قَالَ فَإِنَّهُ قَدْ نَهَى عَنْهُ قَالَتْ فَإِنِّي أَرَى أَهْلَكَ يَفْعَلُونَهُ قَالَ فَاذْهَبِي فَانْظُرِي فَذَهَبَتْ فَنَظَرَتْ فَلَمْ تَرَ مِنْ حَاجَتِهَا شَيْئًا فَقَالَ لَوْ كَانَتْ كَذَلِكَ مَا جَامَعْتُهَا

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yusuf] Telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Manshur] dari [Ibrahim] dari ['Alqamah] dari [Abdullah] ia berkata, "Semoga Allah melaknati Al Wasyimaat (wanita yang mentato) dan Al Mutawatasyimaat (wanita yang meminta untuk ditato), Al Mutanammishaat (wanita yang mencukur alisnya), serta Al Mutafallijaat (merenggangkan gigi) untuk keindahan, yang mereka merubah-rubah ciptaan Allah." Kemudian ungkapan itu sampai kepada salah seorang wanita dari Bani Asad yang biasa dipanggil Ummu Ya'qub. Lalu wanita itu pun datang dan berkata, "Telah sampai kepadaku berita tentang Anda. Bahwa Anda telah melaknat yang ini dan itu." Abdullah berkata, "Mengapakah aku tidak melaknat mereka yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mereka yang terdapat di dalam Kitabullah?." Kemudian wanita berkata, "Sungguh, aku telah membaca di atara kedua lembarannya, namun di dalamnya aku tidaklah mendapatkan apa yang telah Anda katakan." Abdullah menjelaskan, "Sekiranya Anda membacanya secara keseluruhan, maka niscaya saudari akan menemukannya. Bukankah Allah telah berfirman: 'Apa yang dibawa Rasul untuk kalian, maka ambillah, sedangkan apa yang dilarangnya, maka tingalkanlah? '" (QS. Alhasyr 7). Wanita itu menjawab, "Ya, benar." Abdullah melanjutkan, "Sesungguhnya beliau telah melarang hal itu." Wanita itu kembali berkata, "Tetapi, sesungguhnya aku menduga kuat, bahwa isteri anda sendiri melakukan hal itu." Abdullah berkata, "Kalau itu anggapanmu, berangkatlah dan lihatlah." Lalu wanita itu pun pergi untuk melihatnya, namun ternyata tidak mendapatkan kebenaran dugaannya sedikit pun. Kemudian Abdullah pun berkata, "Sekiranya isteriku seperti itu, niscaya aku tidak akan mencampurinya."

Hadits Imam Bukhari Kitab ke-57, Bab Memangkur gigi untuk kecantikan, hadits no 5476 : 

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ تَعَالَى مَالِي لَا أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي كِتَابِ اللَّهِ
{ وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ }

Telah menceritakan kepada kami [Utsman] telah menceritakan kepada kami [Jarir] dari [Manshur] dari [Ibrahim] dari [Alqamah], [Abdullah] mengatakan; "Allah melaknat orang yang mentato dan orang yang meminta ditato, orang yang mencukur habis alis dan merenggangkan gigi untuk kecantikan dengan merubah ciptaan Allah Ta'ala, kenapa saya tidak melaknat orang yang dilaknat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sementara dalam kitabullah telah termaktub Dan sesuatu yang datang dari rasul, maka ambillah (QS Al Hasyr; 7)."


Al-Qur'an surah Al-Ḥasyr ayat 7

مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
 
Apa saja (harta yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.

TAFSIR TAHLILI
(7) Ayat ini menerangkan bahwa harta fai' yang berasal dari orang kafir, seperti harta-harta Bani Quraiẓah, Bani Naḍīr, penduduk Fadak dan Khaibar, kemudian diserahkan Allah kepada Rasul-Nya, dan digunakan untuk kepentingan umum, tidak dibagi-bagikan kepada tentara kaum Muslimin. Kemudian diterangkan pembagian harta fai’ itu untuk Allah, Rasulullah, kerabat-kerabat Rasulullah dari Bani Hasyim dan Bani Muṭallib, anak-anak yatim yang fakir, orang-orang miskin yang memerlukan pertolongan, dan orang-orang yang kehabisan uang belanja dalam perjalanan.
Setelah Rasulullah saw wafat, maka bagian Rasul yang empat perlima dan yang seperlima dari seperlima itu digunakan untuk keperluan orang-orang yang melanjutkan tugas kerasulan, seperti para pejuang di jalan Allah, para dai, dan sebagainya. Sebagian pengikut Syafi‘i berpendapat bahwa bagian Rasulullah itu diserahkan kepada badan-badan yang mengusahakan kemaslahatan kaum Muslimin dan untuk menegakkan agama Islam.
Ibnus-sabīl yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang terlantar dalam perjalanan untuk tujuan baik, karena kehabisan ongkos dan orang-orang yang terlantar tidak mempunyai tempat tinggal. Kemudian diterangkan bahwa Allah menetapkan pembagian yang demikian bertujuan agar harta itu tidak jatuh ke bawah kekuasaan orang-orang kaya dan dibagi-bagi oleh mereka, sehingga harta itu hanya berputar di kalangan mereka saja seperti yang biasa dilakukan pada zaman Arab Jahiliah.
Allah memerintahkan kaum Muslimin agar mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diputuskan itu, baik mengenai harta fai' maupun harta ganimah. Harta itu halal bagi kaum Muslimin dan segala sesuatu yang dilarang Allah hendaklah mereka jauhi dan tidak mengambilnya.
Ayat ini mengandung prinsip-prinsip umum agama Islam, yaitu agar menaati Rasulullah dengan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya, karena menaati Rasulullah saw pada hakikatnya menaati Allah juga. Segala sesuatu yang disampaikan Rasulullah berasal dari Allah, sebagaimana firman-Nya:
 
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى  ٣  اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ   ٤
 
Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (an Najm/53: 3-4);
 
Rasulullah saw menyampaikan segala sesuatu kepada manusia dengan tujuan untuk menjelaskan agama Allah yang terdapat dalam Al-Qur'an. Allah berfirman:
 
بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ   ٤٤
 
(Mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Aż-Żikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. (an-Naḥl/16: 44);
 
Ayat 44 surah an-Naḥl ini mengisyaratkan kepada kaum Muslimin agar melaksanakan hadis-hadis Rasulullah, sebagaimana melaksanakan pesan-pesan Al-Qur'an, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Pada akhir ayat 7 ini, Allah memerintahkan manusia bertakwa kepada-Nya dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tidak bertakwa kepada Allah berarti durhaka kepada-Nya. Setiap orang yang durhaka itu akan ditimpa azab yang pedih.


Hadits Imam Bukhari Kitab ke-57, Bab Mengusir waria dari rumah, hadits no 5436 : 

حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلَانًا

Telah menceritakan kepada kami [Mu'adz bin Fadlalah] telah menceritakan kepada kami [Hisyam] dari [Yahya] dari [Ikrimah] dari [Ibnu Abbas] dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaknat para laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki, sabdanya: "Keluarkanlah mereka dari rumah kalian."Ibnu Abbas melanjutkan; 'Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengeluarkan seorang fulan begitu juga dengan Umar.'


Hadits Imam Abu Daud Kitab ke-35, Bab Hukum banci, hadits no 4282 : 

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ وَأَخْرِجُوا فُلَانًا وَفُلَانًا يَعْنِي الْمُخَنَّثِينَ

Telah menceritakan kepada kami [Muslim bin Ibrahim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hisyam] dari [Yahya] dari [Ikrimah] dari [Ibnu Abbas] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melaknat kaum laki-laki yang menyerupai wanita dan kaum wanita yang menyerupai laki-laki." Beliau bersabda: "Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian, dan keluarkanlah si fulan dan si fulan -yaitu para banci-."


Hadits Imam Ibnu Majah Kitab ke-15, Bab Hukuman bagi penuduh (zina tanpa bukti), hadits no 2558 : 

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي حَبِيبَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ يَا مُخَنَّثُ فَاجْلِدُوهُ عِشْرِينَ وَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ يَا لُوطِيُّ فَاجْلِدُوهُ عِشْرِينَ

Telah menceritakan kepada kami [Abdurrahman bin Ibrahim], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu Fudaik], telah menceritakan kepadaku [Ibnu Abu Habibah] dari [Dawud bin Al Hushain] dari [Ikrimah] dari [Ibnu 'Abbas], dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seorang lelaki berkata kepada lelaki lain; 'Wahai bencong, maka derahlah dia sebanyak dua puluh kali. Dan apabila seorang lelaki berkata kepada lelaki lain: "Wahai homosek, maka cambuklah ia dua puluh kali."


Hadits Imam Ahmad Kitab ke-4, Bab Awal Musnad Abdullah bin Al 'Abbas, hadits no 2177 : 

حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ قَالَ فَقُلْتُ مَا الْمُتَرَجِّلَاتُ مِنْ النِّسَاءِ قَالَ الْمُتَشَبِّهَاتُ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Telah menceritakan kepada kami [Khalaf bin Al Walid] telah menceritakan kepada kami [Khalid] dari [Yazid bin Abu Ziyad] dari [Ikrimah] dari [Ibnu Abbas], ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat kaum laki-laki yang bertingkah seperti wanita dan kaum wanita yang bertingkah seperti laki-laki. Lalu aku tanyakan; "Apa yang disebut kaum wanita bertingkah seperti laki-laki?" dia pun menjawab: "Yaitu kaum wanita yang menyerupai laki-laki."


Hadits Imam Ahmad Kitab ke-6, Bab Musnad Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu , hadits no 7517 : 

حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ النَّجَّارِ أَبُو إِسْمَاعِيلَ الْيَمَامِيُّ عَنْ طَيِّبِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُخَنَّثِي الرِّجَالِ الَّذِينَ يَتَشَبَّهُونَ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ الْمُتَشَبِّهِينَ بِالرِّجَالِ وَرَاكِبَ الْفَلَاةِ وَحْدَهُ

Telah menceritakan kepada kami [Ayub bin An Najjar Abu Isma'il Al Yamamiy] dari [Thayyib bin Muhammad] dari ['Atho` bin Abi Rabbah] dari [Abu Hurairah], dia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam melaknat para laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki dan beliau juga melaknat orang yang berpergian ke suatu daerah sendirian."


Hadits Imam Ahmad Kitab ke-6, Bab Musnad Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu , hadits no 7552 : 

حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ النَّجَّارِ عَنْ طَيِّبِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُخَنَّثِي الرِّجَالِ الَّذِينَ يَتَشَبَّهُونَ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ الْمُتَشَبِّهِينَ بِالرِّجَالِ وَالْمُتَبَتِّلِينَ مِنْ الرِّجَالِ الَّذِينَ يَقُولُونَ لَا نَتَزَوَّجُ وَالْمُتَبَتِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ اللَّائِي يَقُلْنَ ذَلِكَ وَرَاكِبَ الْفَلَاةِ وَحْدَهُ فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى اسْتَبَانَ ذَلِكَ فِي وُجُوهِهِمْ وَقَالَ الْبَائِتُ وَحْدَهُ

Telah menceritakan kepada kami [Ayub bin An Najar] dari [Thayyib bin Muhammad] dari ['Atho` bin Abi Rabbah] dari [Abu Hurairah] berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam melaknat kaum laki-laki yang berprilaku seperti wanita, dan kaum wanita yang berprilaku seperti laki-laki, dan kaum laki-laki yang tidak ingin menikah, mereka berkata; kami tidak ingin menikah, dan kaum laki-laki yang tidak ingin menikah, mereka berkata; kami tidak ingin menikah, serta seseorang yang melewati gurun pasir seorang diri. Hal itu cukup menjadi perhatian para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam sehingga tampak dari wajah-wajah mereka, dan berkata: "orang yang bermalam sendirian."


KAIDAH USHUL FIQIH

Kaidah Ke-1

الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما

Artinya: “Hukum itu berputar bersama illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”
Misalnya:
  1. Memasuki rumah atau memakai pakaian milik orang lain tanpa izin yang memilikinya dilarang (haram), karena tidak ada kerelaan dari pemiliknya, tetapi jika pemiliknya mengetahui dan terus member kerelaannya,, maka hal itu hukumnya diperbolehkan.
  2. Keharaman khamar itu lantaran terdapat zat yang memabukkan, tetapikalau zat yang memabukkan itu sudah hilang dengan sendirinya (misalnya khamar itu sudah berubah menjadi cuka) maka dihalalkannya.
Para Ushuliyun membedakan pengertian hikmah dengan illat. Hikmah adalah sesuatu yang masih berupa perkiraan dan belum positif, karena sifatnya demikian, maka hikmah tidak dapat untuk membina hokum dan mengikat kepada wujud dan tiadanya hokum. Sedangkan illat adalah sesuatu yang sudah jelas dan positif yang dapat dipergunakan membina hokum dan mengikat kepada wujud dan tiadanya hokum. Misalnya:
  1. Mengqasar shalat bagi orang yang dalam keadaan berpergian hikmahnya ialah memberi keringanan dan menolak kesulitan. Hikmah semacam ini masih merupakan perkiraan yang belum positif, karena dapat diterapkan kepada setiap orang yang berbeda situasi dan kondisinya. Ada sebagian orang yang menganggap bahwa shalat dengan sempurna di dalam perjalanan itu tidak menyulitkan menurut suatu situasi dan kondisi tertentu dan menurut situasi dan kondisi yang lain akan terasa berat sekali. Sedangkan illat hukumnya adalah  berpergian, ini merupakan perkara yang sudah jelas dan positif.
  2. Hak syuf’ah (hak beli yang diutamakan) bagi anggota serikat atau etangga hikmahnya ialah untuk menolak gangguan (kemudharatan) bagi anggota serikat atau tetangga itu, sebab tidak mustahil sekiranya mereka tidak diutamakan hak belinya, maka pekarangan yang dijual tersebut dibeli oleh orang asing baginya, karena sehingga ketenangan teganggu, sedangkan illat syufi’ah ialah karena keanggotaan serikat atau pertetanggannya.
 
Kaidah Ke-2
 
Dengan adanya perbedaan yang jelas antara hikmah dan illat para usuliyin melengkapkan kaidah tersebut di atas dengan:

ان الاحكام الشرعية تدور وجودا وعدما مع علتها لا مع حكمها

Artinya: “Bahwa hokum-hukum syariah itu berputar antara ada dan ketiadaannya bersama dengan illatnya, bukan bersama dengan hikmahnya”

Contoh-contoh:
  1. Barang siapa yang dalam bulan Romadhon bepergian dibolehkan tidak berpuasa, karena illatnya dibolehkannya adalah bepergian, biarpun di dalam bepergian itu ia tidak mengalami kesulitan sedikitpun, jika seandainya berpuasa. Tetapi jika illatnya yang dijadikan membina hokum, maka ia tidak boleh meninggalkan puasa kalau tidak ada kesulitan sama sekali.
  2. Seorang yang menjadi anggota serikat dengan orang lain atas tanah pekarangan atau menjadi tetangganya mempunyai hak syuf’ah karena illatnya adalah keanggotaan serikat atau pertetanggaannya. Sekalipun ia tidak khawatir sedikitpun akan adanya gangguan ketenangan dari pembeli yang masih asing baginya. Akan tetapi, kalau hikmhanya yang dijadikan membina hokum dan mengadakan hokum, niscaya dengan tiadanya kekhawatiran akan gangguan ketenangan seorang anggota serikat atau tetangga tidak membpunyai hak syuf’ah.
  3. Orang yang sakit diperkenankan tidak berpuasa pada bulan Romadhon illatnya karena sakit. Sedang hikmah diperbolehkannya adalah untuk menolak kesulitan. Sesuai dengan kaidah yang terakhir, orang yang sakit diperkenankan tidak berpuasa pada bulan Romadhon, baik ia akan mengalami kesulitan atau tidak. Sebaliknya orang yang mengalami kesulitan tidak tentu diperbolehkan tidak berpuasa, jika tidak di dalam keadaan sakit.

Kaidah Ke-3

إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما
 
“Jika dihadapkan pada dua mafsadat, maka mafsadat yang lebih besar harus dihindari dengan cara mengambil  mafsadat yang lebih ringan”. 
 
Maksud dari kaidah tersebut, jika dilihat secara harfiah pun sebenarnya sudah dapat dipahami dengan jelas. Yaitu ketika kita dihadapkan pada dua pilihan dimana keduanya sama-sama memiliki sisi mudaratnya, maka kita harus memilih salah satu yang nilai mudaratnya lebih kecil dan lebih ringan.
Sementara itu Doktor Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dusri di dalam kitabnya Al-mumti' fil qowa'id al-fiqhiyah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan salah satu pilihan yang nilai mudaratnya lebih besar adalah yang belum terjadi. Artinya jika ada kemudaratan yang akan terjadi, tapi masih memungkinkan untuk dicegah terjadinya dengan kemudaratan lain yang nilainya lebih kecil, maka pencegahan itu harus dilakukan agar tidak terjadi kemudaratan yang lebih besar.
Contohnya adalah jika ada ibu hamil yang akan melahirkan, kemudian janinnya bermasalah sehingga harus dilakukan operasi Caesar yaitu mengeluarkan janin dengan membelah perut si ibu. Maka di sini akan muncul dua mudarat. Mudarat yang pertama yaitu pembelahan perut sang ibu yang setidaknya akan beresiko untuknya, atau mudarat yang kedua adalah tidak terselamatkannya janin yang berada di perut si ibu. Maka harus dipilih mudarat yang paling ringan yaitu membelah perut ibu untuk menyelamatkan sang janin.

Kaidah Ke-4

الضَرَرُ يُزَالُ

Kemadaratan harus dihilangkan

Dasar kaidah ini adalah firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 231 dan hadist Rasulullah :

لا ضرر ولا ضرار . رواه أحمد و ابن ماجه و الطبراني .

"Tidak boleh (ada) bahaya dan menimbulkan bahaya." (H.R. Ahmad, Ibnu Majah, dan Thabrani)

Contoh :
Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudharatan bagi rakyat


Kaidah Ke-5

الضرر لا يزال بالضرر
 
“Suatu dlarar tidak boleh dihilangkan dengan dlarar”
 
Maksud dari Qaidah ini adalah, sesuatu yang berbahaya tidak boleh dihilangkan dengan suatu bahaya lain yang setingkat kadar bahayanya, atau yang lebih besar kadar bahayanya.
Contoh Aplikasi Qaidah furu’ ini:
Seseorang yang terdesak dan terpepet, tidak boleh memakan makanan orang lain yang sama saja dengan menghilangkan bahaya dengan cara menimbulkan bahaya lain.
 
Kaidah Ke-6

 
  ازالة ضرر اعظم بار تكاب ضرر اخف
 
“Menghilangkan dlarar yang lebih besar dengan cara melakukan dlarar yang lebih ringan”
 
Maksud dari Qaidah ini adalah, apabila sesuatu yang memiliki dampak bahaya lebih kecil, daripada berbandingan dengan sesuatu yang memiliki dampak bahaya lebih besar, maka diperbolehkannya melakukan sesuatu yang memiliki dampak yang lebih kecil.
 
Contoh Aplikasi Qaidah furu’ ini:
Kalau dampak yang ditimbulkan oleh pemotongan anggota tubuh lebih rendah daripada dampak yang ditimbulkan oleh karena kelaparan tersebut, maka diperbolehkan melakukannya karena untuk memper-tahankan hidup yang memang diperintahkan menjaga-nya.


Kaidah Ke-7


دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ 
 
(Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan).
 
Kaidah ini digunakan sebagai argumentasi dalam fatwa ulama dan artikel-artikel yang mengulas dan mendukungnya seperti dalam fatwa yang dikeluarkan oleh PBNU, MUI dan Ikatan Ulama Besar al-Azhar Kairo Mesir dan sebagainya. Fatwa itu sebagaimana disebutkan di atas berisi imbauan umat Islam meniadakan shalat Jumat di masjid untuk sementara waktu dan mengggantinya dengan shalat dzuhur di rumah. Argumentasinya adalah bahwa upaya melindungi keselamatan jiwa manusia agar terhindar dari wabah virus Corona yang sangat berbahaya itu harus diutamakan daripada upaya untuk terlaksananya kewajiban shalat Jumat.



KESIMPULAN FATWA


A. Penggantian Alat Kelamin
  1. Mengubah alat kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya yang dilakukan dengan sengaja, misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram.
  2. Membantu melakukan ganti kelamin sebagaimana point 1 hukumnya haram.
  3. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penggantian alat kelamin sebagaimana point 1 tidak dibolehkan dan tidak memiliki implikasi hukum syar‟i terkait penggantian tersebut.
  4. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi ganti kelamin sebagaimana point 1 adalah sama dengan jenis kelamin semula seperti sebelum dilakukan operasi ganti kelamin, meski telah memperoleh penetapan pengadilan.

B. Penyempurnaan Alat Kelamin
  1. Menyempurnakan alat kelamin bagi seorang khuntsa yang fungsi alat kelamin laki-lakinya lebih dominan atau sebaliknya, melalui operasi penyempurnaan alat kelamin hukumnya boleh.
  2. Membantu melakukan penyempurnaan alat kelamin sebagaimana dimaksud pada point 1 hukumnya boleh.
  3. Pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin sebagaimana dimaksud pada point 1 harus didasarkan atas pertimbangan medis, bukan hanya pertimbangan psikis semata.
  4. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penyempurnaan alat kelamin sebagaimana dimaksud pada point 1 dibolehkan, sehingga memiliki implikasi hukum syar‟i terkait penyempurnaan tersebut.
  5. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi penyempurnaan alat kelamin sebagaimana dimaksud pada point 1 adalah sesuai dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan sekalipun belum memperoleh penetapan pengadilan terkait perubahan status tersebut.

C. Rekomendasi
  1. Kementerian Kesehatan RI diminta untuk membuat regulasi pelarangan terhadap operasi penggantian alat kelamin dan pengaturan pelaksanaan operasi penyempurnaan alat kelamin dengan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
  2. Organisasi profesi kedokteran diminta untuk membuat kode etik kedokteran terkait larangan praktek operasi ganti alat kelamin dan pengaturan bagi praktek operasi penyempurnaan alat kelamin dengan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
  3. Mahkamah Agung diminta membuat Surat Edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi ganti alat kelamin yang diharamkan.
  4. Ulama dan psikiater (ahli kejiwaan) diminta aktif melakukan pendampingan terhadap seseorang yang memiliki kelainan psikis yang mempengaruhi perilaku seksual, agar kembali normal.