Bersyukur Menambah Rezeki
Al-Qur'an surah Ibrahim ayat 7
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”
IRAB
⬤ {وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ}: وإذ: معطوف بالواو على قوله-نعمة الله-الواردة في الآية الكريمة السابقة بتقدير: وإذ قال موسى لقومه اذكروا نعمة الله عليكم واذكروا حين تأذّن ربكم.
و «تأذن» فعل ماض مبني على الفتح بمعنى «أعلم» أي آذن وهي كتوعّد بمعنى: أوعد ولكنّه أبلغ منه وبمعنى «إذ تأذّن ربكم فقال {لَئِنْ شَكَرْتُمْ»} وقد أجرى «تأذّن» مجرى قال لأنه ضرب من القول.
ربكم: فاعل مرفوع للتعظيم بالضمة.
الكاف ضمير متصل في محل جر بالاضافة والميم علامة جمع الذكور وجملة {تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ»} في محل جر بالاضافة لوقوعها بعد الظرف «إذ».
⬤ {لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ}: اللام: موطئة للقسم-المؤذنة-إن: حرف شرط جازم.
شكرتم: فعل ماض مبني على السكون لاتصاله بضمير الرفع المتحرك فعل الشرط في محل جزم بإن.
التاء: ضمير متصل في محل رفع فاعل.
والميم علامة جمع الذكور.
اللام: واقعة في جواب القسم، أزيدنكم: فعل مضارع مبني على الفتح في محل رفع لاتصاله بنون التوكيد الثقيلة والنون لا محل لها والفاعل ضمير مستتر فيه وجوبا تقديره «أنا» الكاف ضمير متصل مبني على الضم في محل نصب مفعول به والميم علامة جمع الذكور.
وجملة {إِنْ شَكَرْتُمْ»} اعتراضية بين القسم المحذوف وجوابه لا محل لها من الإعراب.
وجملة «لأزيدنكم» جواب القسم لا محل لها من الإعراب.
أما جواب الشرط فمحذوف لأنّ جواب القسم دلّ عليه وحذف مفعولا الفعلين اختصارا أي لئن شكرتم النعمة لأزيدنكم فضلا على فضل أو نعمة على نعمة.
⬤ {وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ}: معطوفة بالواو على {لَئِنْ شَكَرْتُمْ»} وتعرب إعرابها.
إن: حرف نصب وتوكيد مشبه بالفعل.
⬤ {عَذابِي لَشَدِيدٌ}: عذاب: اسم «إنّ» منصوب بالفتحة المقدرة على ما قبل الياء منع من ظهورها اشتغال المحل بحركة الياء المناسبة.
والياء ضمير متصل في محل جر بالاضافة.
شديد: خبر «انّ» مرفوع بالضمة وجملة «إن عذابي شديد» جواب القسم لا محل لها أي فإنّ عذابي شديد.
وكفرتم: بمعنى غمطتم نعمتي عليكم و «اللام» في «لشديد» لام التوكيد المزحلقة.
MUFRADAT
- وَإِذْ ketika
- تَأَذَّنَ memaklumkan
تأذَّنَ يتأذَّن، تَأذُّنًا، فهو مُتأذِّن
تأذّن : أقسم : bersumpah
تأذّن الأمرَ : أعلمه : memberitahukan , mengumumkan
- رَبُّكُمْ Tuhanmu
- لَئِنْ sesungguhnya jika
- شَكَرْتُمْ kamu bersyukur
شكَرَ/ شكَرَ لـ يَشكُر، اُشْكُرْ، مصدر شُكْرٌ، شُكُورٌ، فهو شاكر، والمفعول مَشْكور
شَكَرَ - يَشْكُرُ ( لِـ ) : berterima kasih , bersyukur , membalas jasa
- لَأَزِيدَنَّكُمْ pasti Aku akan menambahkan kepadamu
زادَ/ زادَ على/ زادَ عن/ زادَ في/ زادَ من يَزِيد، زِدْ، مصدر زِيادَةٌ، زَيْدٌ، مَزيدٌ، فهو زائد، والمفعول مَزيد
زَادَ - يَزِيْدُ : menambah , meningkatkan , menumbuhkan , memperbanyak , mempertinggi , memperbesar , menjadi lebih
- وَلَئِنْ dan sesungguhnya jika
- كَفَرْتُمْ kamu mengingkari
كفَرَ1/ كفَرَ بـ يكفُر، كُفْرًا وكُفُورًا وكُفْرانًا، فهو كافر، والمفعول مكفور
كَفَرَ - يكْفر : kufur , ingkar , tidak beriman , mengkafiri , mengingkari , tidak percaya
- إِنَّ sesungguhnya
- عَذَابِي azabKu
عَذَاب : siksaan , kesakitan , nyeri sekali , kesedihan mendalam , sakit , penderitaan
العَذَابُ ( ج اَعْذِبَةٌ ) : azab ( siksa , hukuman )
- لَشَدِيدٌ sungguh sangat keras/pedih
شَدِيْد : sangat , kuat , perkasa , bertenaga , jengkel , kasar , keras , kejam , akut , tekun , drastis , tabah
جمع: أَشِدَّاءُ، شِدَادٌ، شُدودٌ، شَدَائِدُ.
TAFSIR
Ayat ini memberikan pelajaran-pelajaran dalam berbagai aspek:
1. Pelajaran Akidah: Ayat ini mengajarkan tentang keberadaan Tuhan dan kekuasaan-Nya dalam memberikan nikmat serta mengancam dengan azab bagi mereka yang mengingkari nikmat-Nya. Ini menguatkan keyakinan akan eksistensi dan kekuasaan Allah.
2. Pelajaran Akhlak: Ayat ini mengajarkan pentingnya bersyukur sebagai bentuk sikap terpuji. Bersyukur adalah tindakan akhlak yang menunjukkan rasa tahu diri dan menghargai nikmat yang diberikan. Sebaliknya, mengingkari nikmat-Nya menunjukkan sikap tidak menghargai dan berpotensi mendatangkan konsekuensi buruk.
3. Pelajaran Hukum Fikih: Ayat ini tidak secara khusus membahas hukum fikih tertentu, tetapi dapat dihubungkan dengan konsep-konsep seperti wajib bersyukur terhadap nikmat Allah, menghindari tindakan yang bisa dianggap mengingkari nikmat-Nya, dan memahami konsekuensi azab bagi mereka yang tidak bersyukur.
TAFSIR TAHLILI
Dalam ayat ini Allah swt kembali mengingatkan hamba-Nya untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Bila mereka melaksanakannya, maka nikmat itu akan ditambah lagi oleh-Nya. Sebaliknya, Allah juga mengingatkan kepada mereka yang mengingkari nikmat-Nya, dan tidak mau bersyukur bahwa Dia akan menimpakan azab-Nya yang sangat pedih kepada mereka.
Mensyukuri rahmat Allah bisa dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, dengan ucapan yang setulus hati; kedua, diiringi dengan perbuatan, yaitu menggunakan rahmat tersebut untuk tujuan yang diridai-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari, dapat kita lihat bahwa orang-orang yang dermawan dan suka menginfakkan hartanya untuk kepentingan umum dan menolong orang, pada umumnya tak pernah jatuh miskin ataupun sengsara. Bahkan, rezekinya senantiasa bertambah, kekayaannya makin meningkat, dan hidupnya bahagia, dicintai serta dihormati dalam pergaulan. Sebaliknya, orang-orang kaya yang kikir, atau suka menggunakan kekayaannya untuk hal-hal yang tidak diridai Allah, seperti judi atau memungut riba, maka kekayaannya tidak bertambah, bahkan lekas menyusut. Di samping itu, ia senantiasa dibenci dan dikutuk orang banyak, dan di akhirat memperoleh hukuman yang berat.
DEFINISI NIKMAT
Secara bahasa, kata "nikmat" berasal dari bahasa Arab "نعمة" (ni'mah), yang berarti anugerah, kenikmatan, atau karunia.
نِعْمَة : nikmat , berkah , anugerah , kebaikan
جمع: نِعَمٌ، أَنْعُمٌ، نَعَمَاتٌ. (مصدر نَعَمَ، نَعِمَ).
نعِمَ/ نعِمَ بـ يَنعَم ويَنعُم ويَنعِم، اِنْعَمْ، مصدر نَعَمٌ، نَعْمَةٌ، نِعْمَةٌ، نَعِيمٌ، فهو ناعِم، والمفعول منعوم به
نَعِمَ - ينعم : menikmati
KBBI:
nik·mat 1 a enak; lezat: masakannya memang --; 2 a merasa puas; senang: -- rasanya tidur di kamar sebagus ini; 3 n pemberian atau karunia (dr Allah): Allah telah memberi -- kpd manusia;
Secara istilah nikmat merujuk pada hal-hal yang memberikan kebahagiaan atau kepuasan kepada seseorang baik berupa nikmat fisikal, sosial, intelaktual, emosional, dan spiritual.
Hukum bersyukur:
Kaidah ushul fikih tentang wajibnya bersyukur adalah:
"الشُّكْرُ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ نِعْمَةٍ تَقَعُ عَلَى الْمُكَلَّفِ"
yang artinya "Bersyukur adalah wajib atas setiap nikmat yang diterima oleh orang yang berkewajiban (mukallaf)."
Dalilnya dapat ditemukan dalam surat Ibrahim, ayat 7, yang berbunyi: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.'"
Ini menggarisbawahi kewajiban untuk bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah dan konsekuensi buruk jika nikmat-Nya diingkari.
Kajian Hukum Bersyukur:
Indikasi wajibnya bersyukur dari ayat tersebut terdapat dalam pernyataan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu." Dari sisi ilmu ushul fikih, ayat ini mengandung beberapa poin penting yang menunjukkan wajibnya bersyukur:
1. **Pernyataan langsung dan tegas:** Ayat ini secara eksplisit menyatakan konsekuensi positif dari tindakan bersyukur, yakni pertambahan nikmat. Pernyataan ini tidak memberikan ruang untuk tafsiran lain, menunjukkan bahwa bersyukur adalah suatu kewajiban.
2. **Penghubungan antara sebab dan akibat:** Ayat ini menggunakan struktur "jika... maka..." untuk mengaitkan tindakan bersyukur dengan hasil yang dijanjikan, yaitu penambahan nikmat. Ini adalah sebuah bentuk qiyas (analogi) yang menegaskan kewajiban bersyukur atas dasar hubungan sebab-akibat yang tegas.
3. **Kontras antara bersyukur dan mengingkari:** Ayat ini menegaskan perbedaan hasil antara bersyukur dan mengingkari nikmat. Dengan kata lain, tindakan bersyukur merupakan jalan menuju pertambahan nikmat, sementara mengingkari akan berujung pada azab yang keras. Ini menegaskan pentingnya bersyukur dan memberikan penekanan pada kewajiban tersebut.
4. **Tujuan untuk mendorong perilaku:** Ayat ini memiliki tujuan mendorong manusia untuk bertindak sesuai dengan tuntunan agama, yaitu dengan bersyukur. Hal ini sesuai dengan prinsip ushul fikih yang mengakui bahwa tujuan syariat (maqasid al-shari'ah) adalah mendorong kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Dari sudut pandang ilmu ushul fikih, ayat ini secara kuat menunjukkan bahwa bersyukur adalah kewajiban atas setiap nikmat yang diterima, berdasarkan tegasnya pernyataan dalam ayat, hubungan sebab-akibat, dan tujuan untuk mendorong perilaku yang baik.
Indikasi wajibnya bersyukur dari ayat ini terletak pada pernyataan "Sesungguhnya jika kamu bersyukur." Dalam ilmu ushul fikih, pernyataan ini masuk dalam kategori kaidah "الأمر بما يتطلب الفرض فهو فرض" (Al-Amr bi Ma Yatatalab al-Fardhi Fahwa Fardh), yang berarti "Perintah untuk melakukan suatu tindakan yang mengimplikasikan suatu kewajiban, maka tindakan tersebut menjadi wajib."
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk bersyukur sebagai tanggapan atas nikmat-Nya. Pernyataan ini secara implisit menunjukkan kewajiban bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan. Berdasarkan kaidah tersebut, perintah ini (bersyukur) menjadi wajib karena mengandung implikasi kewajiban.
Dalam ilmu ushul fikih, kaidah ini mengindikasikan bahwa ketika Allah memerintahkan sesuatu yang mengarah pada pelaksanaan kewajiban tertentu, maka tindakan tersebut menjadi wajib dilakukan. Dalam konteks ayat ini, tindakan bersyukur atas nikmat-nikmat Allah menjadi kewajiban karena Allah menghubungkan pertambahan nikmat dengan tindakan bersyukur.
Kajian Ilmu Mantiq
Isyarat-isyarat wajibnya bersyukur dari ayat tersebut dapat diuraikan secara logika (ilmu mantiq) sebagai berikut:
1. **Syarat Pertama: A jika B (A ⇒ B):** Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa jika seseorang bersyukur (A), maka Dia akan menambahkan nikmat (B) kepada mereka. Ini menciptakan hubungan logis "jika... maka..." yang menunjukkan bahwa tindakan bersyukur adalah syarat pertama untuk mendapatkan pertambahan nikmat.
2. **Syarat Kedua: ¬A jika ¬B (¬B ⇒ ¬A):** Ayat ini juga menyatakan bahwa jika seseorang tidak bersyukur (¬A), maka nikmat tidak akan bertambah (¬B). Ini menunjukkan hubungan logis bahwa ketika tindakan bersyukur tidak terpenuhi, maka pertambahan nikmat tidak akan terjadi.
Dengan menggunakan prinsip-prinsip ilmu mantiq, kita dapat menguraikan bahwa ayat ini menunjukkan hubungan sebab-akibat antara tindakan bersyukur dengan pertambahan nikmat. Dalam konteks ilmu mantiq, ayat ini mengandung implikasi bahwa wajib bagi manusia untuk bersyukur sebagai syarat pertama agar pertambahan nikmat terjadi, dan jika mereka tidak bersyukur, maka pertambahan nikmat juga tidak akan terjadi.
Semoga bermanfaat,
Salam
Pengasuh Ma'had Bahasa Adab
