Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dalil-dalil Boleh dan Tidaknya Mengucapkan Salam Kepada Agama Lain


Salam adalah salah satu bentuk penghormatan dan doa yang umum digunakan dalam Islam. Namun, muncul pertanyaan tentang boleh tidaknya mengucapkan salam kepada penganut agama lain. Untuk menjawab ini, kita akan mengkaji dalil-dalil dari Alquran dan hadis, serta menganalisisnya melalui ilmu balaghah (retorika Arab) dan kaidah ushul fiqih (prinsip-prinsip hukum Islam).


Dalil-dalil Alquran dan Hadis tentang Bolehnya Mengucapkan Salam kepada Penganut Agama Lain

1. Dalil-dalil Alquran dan Hadis

a. Dalil Alquran

1) Surah An-Nisa' (4:86)

وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya atau balaslah dengan yang sepadan. Sesungguhnya Allah Maha Memperhitungkan segala sesuatu.

TAFSIR KEMENAG
Perintah untuk berlaku sopan santun dalam pergaulan, agar terpelihara hubungan persaudaraan dengan jalan mengadakan tata tertib yang dilakukan ketika bertemu dengan seseorang. Seseorang harus membalas penghormatan yang diberikan kepadanya berupa salam yang diterimanya dengan balasan yang setimpal atau dengan cara lebih baik. Balasan yang setimpal atau yang lebih baik dapat berbentuk ucapan yang menyenangkan atau dengan suara yang lemah lembut atau dengan gerak-gerik yang menarik hati, memperhatikan kehidupan dalam menegakkan sopan santun yang memperkuat hubungan persaudaraan antara sesama mereka.
Allah memperhatikan segala sesuatu termasuk memperhatikan kehidupan manusia dalam menegakkan sopan santun yang bisa memperkuat hubungan persaudaraan antara sesama mereka.
Sejalan dengan ayat itu terdapat hadis-hadis sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُسَلِّمُ الرَّاكِبُ عَلىَ الْمَاشِى وَالْمَاشِى عَلىَ الْقَاعِدِ وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْرِ وَالصَّغِيْرُ عَلَى الْكَبِيْرِ (رواه البخاري ومسلم)

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah orang yang berkendaraan memberi salam kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, kelompok orang yang sedikit memberi salam kepada kelompok yang banyak, kelompok orang yang muda memberi salam kepada kelompok yang tua.” (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim).

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو قَالَ: اِنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَيُّ اْلاِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامِ وَتَقْرَأَ السَّلاَمَ عَلىَ مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ (رواه البخاري ومسلم)

Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “bahwasannya seseorang bertanya kepada Rasulullah, mana ajaran Islam yang terbaik? Rasulullah saw menjawab, “(yaitu) memberi makan (kepada fakir miskin) dan memberi salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang belum engkau kenal. (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim).


2) Surah Al-Mumtahanah (60:8)

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

TAFSIR KEMENAG
Diriwayatkan bahwa Aḥmad bin Ḥanbal menceritakan kepada beberapa imam yang lain dari ‘Abdullāh bin Zubair, ia berkata, “Telah datang ke Medinah (dari Mekah) Qutailah binti ‘Abdul ‘Uzzā, bekas istri Abu Bakar sebelum masuk Islam, untuk menemui putrinya Asmā' binti Abu Bakar dengan membawa berbagai hadiah. Asmā' enggan menerima hadiah itu dan tidak memperkenankan ibunya memasuki rumahnya. Kemudian Asmā' mengutus seseorang kepada ‘Aisyah agar menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Maka turunlah ayat ini yang membolehkan Asmā' menerima hadiah dan mengizinkan ibunya yang kafir itu tinggal di rumahnya.
Allah tidak melarang orang-orang yang beriman berbuat baik, mengadakan hubungan persaudaraan, tolong-menolong, dan bantu-membantu dengan orang musyrik selama mereka tidak mempunyai niat menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, tidak mengusir kaum Muslimin dari negeri-negeri mereka, dan tidak pula berteman akrab dengan orang yang hendak mengusir itu.
Ayat ini memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum Muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama mereka bersikap dan ingin bergaul baik, terutama dengan kaum Muslimin.
Seandainya dalam sejarah Islam, terutama pada masa Rasulullah saw dan masa para sahabat, terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum Muslimin kepada orang-orang musyrik, maka tindakan itu semata-mata dilakukan untuk membela diri dari kezaliman dan siksaan yang dilakukan oleh pihak musyrik.
Di Mekah, Rasulullah dan para sahabat disiksa dan dianiaya oleh orang-orang musyrik, sampai mereka terpaksa hijrah ke Medinah. Sesampai di Medinah, mereka pun dimusuhi oleh orang Yahudi yang bersekutu dengan orang-orang musyrik, sekalipun telah dibuat perjanjian damai antara mereka dengan Rasulullah. Oleh karena itu, Rasulullah terpaksa mengambil tindakan keras terhadap mereka. Demikian pula ketika kaum Muslimin berhadapan dengan kerajaan Persia dan Romawi, orang-orang kafir di sana telah memancing permusuhan sehingga terjadi peperangan.
Jadi ada satu prinsip yang perlu diingat dalam hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang kafir, yaitu boleh mengadakan hubungan baik, selama pihak yang bukan Islam melakukan yang demikian pula. Hal ini hanya dapat dibuktikan dalam sikap dan perbuatan kedua belah pihak.
Di Indonesia prinsip ini dapat dilakukan, selama tidak ada pihak agama lain bermaksud memurtadkan orang Islam atau menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.


b. Dalil Hadis

Hadits Imam Bukhari Kitab ke-38, Bab Mendoakan orang-orang musyrik agar mendapatkan kekalahan dan kehancuran, hadits no 2718 : 

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ الْيَهُودَ دَخَلُوا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكَ فَلَعَنْتُهُمْ فَقَالَ مَا لَكِ قُلْتُ أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ فَلَمْ تَسْمَعِي مَا قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ

Telah bercerita kepada kami [Sulaiman bin Harb] telah bercerita kepada kami [Hammad] dari [Ayyub] dari [Ibnu Abi Mulaikah] dari ['Aisyah radliallahu 'anha] bahwa orang-orang Yahudi datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu mereka mengucapkan as-saamu 'alaika (Kecelakaan atau racun buatmu), maka 'Aisyah melaknat mereka. Beliau bertanya: "Kenapa kamu berbuat begitu". Aku jawab: "Apakah Tuan tidak mendengar apa yang mereka ucapkan? ' Beliau menjawab: "Apakah kamu tidak mendengar apa yang aku katakan?" (Aku kepada mereka): "Wa 'alaikum (namun juga buat kalian) ".

Hadits Imam Bukhari Kitab ke-68, Bab Jika ahlu dzimmah mencela nabi ShollAllahu 'alaihi wa Salam , hadits no 6414 : 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ أَبُو الْحَسَنِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ هِشَامِ بْنِ زَيْدِ بْنِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ
مَرَّ يَهُودِيٌّ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ السَّامُ عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَدْرُونَ مَا يَقُولُ قَالَ السَّامُ عَلَيْكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا نَقْتُلُهُ قَالَ لَا إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Muqatil Abul Hasan] Telah mengabarkan kepada kami [Abdullah] telah mengabarkan kepada kami [Syu'bah] dari [Hisyam bin Zaid bin Anas bin Malik] mengatakan, aku mendengar [Anas bin malik] mengatakan; seorang yahudi melewati Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam dan mengucapkan; 'Assaam 'alaikum (kiranya kalian tertimpa kematian).' Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "wa'ailaika (Dan untukmu).' kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya; "tahukah kalian apa yang diucapkannya? dia telah mengatakan; 'alaikum (Semoga kalian tertimpa kematian)." Maka para sahabat menjawab; 'bagaimana kalau dia kami bunuh? ' Nabi menjawab; "jangan, jika ahlu kitab mengucapkan salam kepada kalian, jawablah; wa'alaikum (kepada kalian kematian)!"

Hadits Imam Bukhari Kitab ke-59, Bab Bagaimana menjawab salam ahlu dzimmah, hadits no 5788 : 

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

Telah menceritakan kepada kami [Utsman bin Abu Syaibah] telah menceritakan kepada kami [Husyaim] telah mengabarkan kepada kami ['Ubaidullah bin Abu Bakr bin Anas] telah menceritakan kepada kami [Anas bin Malik] radliallahu 'anhu dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apabila ahli kitab menyampaikan salam kepada kalian, maka jawablah; 'wa 'alaikum (dan keatasmu)."


2. Kajian Balaghah

a. Analisis Balaghah Surah An-Nisa' (4:86)
Ayat ini menggunakan kata "tahiyyah" yang berarti penghormatan secara umum, tidak spesifik terhadap Muslim saja. Secara balaghah, ini menunjukkan inklusivitas dan universalitas prinsip balasan penghormatan. Penggunaan kata "ahsan" (lebih baik) juga menekankan pentingnya kebaikan dan etika dalam interaksi sosial.

b. Analisis Balaghah Surah Al-Mumtahanah (60:8)
Ayat ini menggunakan kata "tabarruhum" (berbuat baik) dan "tuqsithu" (berlaku adil), yang menunjukkan bahwa kebaikan dan keadilan adalah nilai-nilai universal yang tidak terbatas pada sesama Muslim saja. Secara retorika, ini memperkuat pesan bahwa Islam mengajarkan kebaikan dan keadilan kepada semua manusia, termasuk non-Muslim.

c. Analisis Balaghah Hadis Riwayat Bukhari
Hadis ini menggunakan kata "ahl al-kitab" yang merujuk kepada Yahudi dan Nasrani. Penggunaan kalimat "faqulu: wa 'alaikum" adalah bentuk toleransi dan tetap menunjukkan sikap hormat meskipun dalam bentuk minimalis. Ini menandakan bahwa Islam mengakui eksistensi dan hak-hak dasar non-Muslim dalam masyarakat.

3. Kajian Kaidah Ushul Fiqih

a. Kaidah "Al-ashlu fil mu'amalat al-ibahah"
Prinsip dasar dalam interaksi sosial adalah kebolehan, kecuali ada dalil yang melarang. Dalil dari Alquran dan hadis di atas tidak secara eksplisit melarang mengucapkan salam kepada non-Muslim, sehingga mengacu pada kaidah ini, hal tersebut adalah mubah (boleh).

b. Kaidah "Al-masyaqqah tajlibu al-taysir"
Kesulitan membawa kemudahan. Dalam konteks kehidupan pluralis modern, interaksi dengan non-Muslim adalah hal yang wajar dan bahkan diperlukan. Mengucapkan salam merupakan bagian dari sopan santun dan penghormatan yang memudahkan interaksi sosial dan harmoni.

c. Kaidah "Dar'u al-mafasid muqaddam 'ala jalb al-masalih"
Mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih kemaslahatan. Jika dengan tidak mengucapkan salam dapat menyebabkan kerusakan sosial atau ketegangan, maka demi mencegahnya, diperbolehkan mengucapkan salam.

4. Kesimpulan
Berdasarkan analisis balaghah dan kaidah ushul fiqih terhadap dalil-dalil Alquran dan hadis, mengucapkan salam kepada penganut agama lain adalah diperbolehkan. Alquran dan hadis mengajarkan prinsip universalitas kebaikan dan keadilan yang dapat diterapkan dalam konteks pluralisme agama. Dengan demikian, mengucapkan salam kepada non-Muslim adalah bagian dari etika Islam dalam berinteraksi sosial, yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar syariat Islam.



Dalil-dalil Alquran dan Hadis tentang Hukum Tidak Bolehnya Mengucapkan Salam kepada Penganut Agama Lain

1. Dalil-dalil Alquran dan Hadis

a. Dalil Alquran

1) Surah Al-Mujadilah (58:22)

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُ ۗوَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِ ۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ

Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.

TAFSIR KEMENAG
Diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim, aṭ-Ṭabrānī, Abū Nu‘aim, dan al-Baihaqī dari Ibnu ‘Abbās bahwa ia berkata, “Ayat ini turun berhubungan dengan Abū Ubaidah bin ‘Abdillāh al-Jarrah, yang mana dalam Perang Badar, selalu ditantang berperang tanding oleh ayahnya, ‘Abdullāh al-Jarrah. Akan tetapi, ia selalu berusaha menghindarkan diri dari perang tanding itu. Karena terus-menerus dicari dan diburu oleh ayahnya, ia terpaksa melayaninya, sehingga Abū Ubaidah membunuh ayahnya. Maka turunlah ayat ini.
Ayat ini menerangkan bahwa sebenarnya orang munafik itu benar-benar kafir, bahkan lebih berbahaya dari orang yang terang-terangan menyatakan kekafirannya. Orang-orang munafik yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang selalu berusaha dan mengadakan tipu daya dalam mencapai tujuan mereka untuk menghancurkan agama Islam dan kaum Muslimin. Orang-orang kafir yang tidak memusuhi kaum Muslimin atau orang yang tidak berusaha menghancurkan agama Islam dan kaum Muslimin tidak termasuk dalam ayat ini.
Kaum Muslimin dilarang berteman dengan orang-orang kafir yang menjadi musuh Islam karena hal itu berarti ikut berusaha menghancurkan Islam dan kaum Muslimin. Sedangkan terhadap orang-orang kafir yang tidak memusuhi kaum Muslimin dan tidak berusaha menghancurkan agama Islam, kaum Muslimin dibolehkan berteman dan bergaul dengan mereka, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw sendiri dan para sahabat. Sesuai dengan firman Allah:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (al-Mumtaḥanah/60: 8)

Kemudian ditegaskan, seandainya ada kaum Muslimin yang berteman erat dengan orang kafir yang memusuhi Islam maka hal itu adalah sikap yang tidak wajar. Sebab, tidak mungkin ada orang-orang mukmin yang benar-benar beriman kepada Allah berteman dengan orang kafir yang ingin menghancurkan Islam.
Dengan demikian, kaum Muslimin diminta agar selalu waspada setiap terjadi permusuhan dan pertempuran dengan orang-orang kafir. Sekali-kali tidak boleh berteman erat dengan mereka, karena akan membahayakan kaum Muslimin. 
Allah menerangkan bahwa orang-orang yang telah diterangkan kekuatan iman dan keikhlasan hati mereka, seperti Abū Ubaidah, adalah orang yang telah tertanam keimanan dalam hatinya. Sehingga mereka tidak tahan mendengar Allah dan Rasul-Nya dicaci-maki orang, atau agama Islam direndahkan.
Di samping mempunyai keimanan yang kuat, Allah juga telah menguatkan hati dan jiwa mereka sehingga menimbulkan ketenangan jiwa dan ketetapan hati dalam menegakkan agama Allah. Oleh karena itu, mereka tidak dapat melakukan kerja sama dengan orang-orang yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin.
Pada akhir ayat ini diterangkan balasan yang akan mereka peroleh dari Allah, yaitu:
1. Di akhirat mereka akan ditempatkan di dalam surga yang penuh kenikmatan, dan di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya.
2. Allah rida dan menyukai perbuatan-perbuatan yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia dan keadaan mereka di akhirat. Mereka pun rida dan senang terhadap balasan yang dianugerahkan Allah kepada mereka cepat atau lambat.
3. Mereka termasuk orang-orang yang dimuliakan Allah karena telah bersedia menjadi tentara Allah dan mengorbankan segala yang ada pada mereka untuk meninggikan kalimat-Nya.
4. Mereka termasuk orang-orang yang beruntung, karena dirinya telah berhasil melaksanakan tugas hidupnya sebagai hamba Allah di dunia dan di akhirat.

2) Surah At-Tawbah (9:29)

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صٰغِرُوْنَ ࣖ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak mengharamkan (menjauhi) apa yang telah diharamkan (oleh) Allah dan Rasul-Nya, dan tidak mengikuti agama yang hak (Islam), yaitu orang-orang yang telah diberikan Kitab (Yahudi dan Nasrani) hingga mereka membayar jizyah323) dengan patuh dan mereka tunduk.324)

TAFSIR TAHLILI
Pada hakikatnya, ayat ini merupakan langkah awal agar Nabi Muhammad saw mengalihkan perhatiannya kepada Perang Tabuk yang akan dihadapinya. Perang Tabuk merupakan perang yang terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, sesudah kaum Muslimin dapat menguasai kota Mekah. Tabuk terletak di sebelah utara Medinah, berbatasan dengan Yordania/Syam (Damaskus) yang ketika itu dikuasai oleh kerajaan Romawi yang beragama Nasrani. Ketika berita sampai kepada Nabi Muhammad saw, bahwa pihak Romawi mempersiapkan pasukan dalam jumlah yang besar untuk menguasai daerah perbatasan tersebut, maka Nabi Muhammad saw, mengumumkan kepada seluruh kaum Muslimin melalui kabilah-kabilah agar bersiap-siap mengumpulkan segala kekuatan untuk turut bersama Nabi memerangi pasukan Romawi. Seruan Nabi Muhammad tersebut segera mendapat sambutan dari kaum Muslimin yang kuat imannya, kecuali kaum munafik yang mencari helah sebagaimana telah menjadi kebiasaan mereka terutama dalam menghadapi Tabuk, di samping jaraknya sangat jauh juga panas matahari sangat terik. Setelah Nabi Muhammad saw dan pasukan kaum Muslimin sampai di Tabuk, didapatinya pasukan Romawi telah lebih dahulu mengosongkan daerah Tabuk untuk mundur kembali ke daerah pedalaman. Maka Ahli Kitab yang berada di sana meminta perdamaian dan menyerahkan jizyah kepada Nabi Muhammad saw sebagai tanda pengakuan mereka untuk tunduk kepada kekuasaan Islam, karena mereka belum bersedia menganut agama Islam.
Setiap peperangan pada masa Nabi hanya untuk mempertahankan diri atau untuk membalas serangan. Pada ayat ini Allah memerintahkan kaum Muslimin agar memerangi Ahli Kitab, karena mereka memiliki empat unsur yang menyebabkan mereka memusuhi Islam. Empat unsur itu ialah:
1. Mereka tidak beriman kepada Allah, karena mereka telah menghancurkan asas ketauhidan. Mereka menjadikan pendeta-pendeta selaku orang suci yang berhak menentukan sesuatu, baik mengenai peraturan yang berkenaan dengan ibadah maupun yang berhubungan dengan halal dan haram. Demikian juga orang Nasrani menganggap Isa anak Allah, sedangkan orang Yahudi menganggap pula Uzair sebagai anak Allah. Hal itu dengan tegas menunjukkan bahwa mereka semua mempersekutukan Allah dalam membuat peraturan agama.
2. Mereka tidak beriman kepada hari kemudian, karena mereka menganggap bahwa kehidupan di akhirat sekedar kehidupan rohaniyah belaka. Kesesatan anggapan mereka seperti ini karena tidak ada ketegasan, baik dalam Taurat maupun dalam Injil tentang adanya hari kebangkitan dan pembalasan sesudah mati, saat manusia bangkit kembali sebagaimana kejadiannya semula, yaitu terdiri dari jasad dan roh, yang masing-masing akan merasakan kenikmatan karunia Allah sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an.
3. Mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Orang Yahudi tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah pada syariat yang dibawa oleh Musa dan yang sebagiannya di-naskh-kan oleh Isa, yakni dinyatakan tidak berlaku lagi hukumnya. Mereka memandang halal memakan harta dengan jalan yang tidak halal (batil), seperti riba dan sebagainya dan mereka mengikuti cara-cara orang musyrik dalam keganasan berperang dan memperlakukan tawanan. Sedangkan orang Nasrani memandang halal apa yang diharamkan oleh Allah pada syariat Musa yang belum dinasakh oleh Injil. Dalam Taurat Allah mengharamkan lemak daging atau harga penjualannya. Orang-orang Nasrani tidak memandangnya haram.
4. Mereka tidak berpegang kepada agama yang benar yaitu agama yang diwahyukan kepada Musa dan Isa a.s. Apa yang mereka anggap agama sebenarnya adalah suatu cara yang dibuat oleh pendeta-pendeta mereka berdasarkan pikiran dan kepentingan. Yang menyebabkan perbuatan tersebut karena Taurat yang diturunkan kepada Musa, dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, ditulis jauh setelah keduanya wafat. Sehingga Taurat dan Injil ditulis berdasarkan pemahaman pengikut-pengikutnya. Bahkan beberapa abad sesudah kenaikan Isa mereka memilih empat Injil yang masing-masing saling bertentangan. Demikianlah keadaan mereka, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah:

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِّيْثَاقَهُمْ لَعَنّٰهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوْبَهُمْ قٰسِيَةً ۚ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖۙ وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلٰى خَاۤىِٕنَةٍ مِّنْهُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ ١٣

(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (al-Mā’idah/5: 13)

Allah memerintahkan orang mukmin agar memerangi Ahli Kitab karena mereka menunjukkan permusuhan dan mengancam keamanan Muslimin, baik dalam kehidupan beragama maupun kehidupan sosial. Jika mereka menerima Islam sebagai pengganti agamanya, maka mereka telah kembali kepada agama yang benar, dan jika mereka tunduk, tidak lagi mengganggu dan mengancam kehidupan umat Islam maka hendaklah mereka membayar jizyah (kecuali mereka yang miskin dan para pendeta) sebagai tanda bahwa mereka berada dalam posisi yang rendah. Kewajiban Muslimin seluruhnya menjamin keamanan mereka, membela mereka, memberikan kebebasan kepada mereka terutama dalam menjalankan ibadah menurut agama mereka dan memperlakukan mereka dengan adil dalam kehidupan sosial sebagaimana kaum Muslimin sendiri diperlakukan. Dengan membayar jizyah mereka disebut ahli zimmah atau kafir zimmi.


b. Dalil Hadis

Hadits Imam Ahmad Kitab ke-6, Bab Musnad Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu , hadits no 7251 : 

حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فِي طَرِيقٍ فَلَا تَبْدَؤُهُمْ وَاضْطَرُّوهُمْ إِلَى أَضْيَقِهَا قَالَ زُهَيْرٌ فَقُلْتُ لِسُهَيْلٍ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ

Telah menceritakan kepada kami [Abu Kamil] telah menceritakan kepada kami [Zuhair] telah menceritakan kepada kami [Suhail bin Abi Shalih] dari [bapaknya] dari [Abu Hurairah], dia berkata; Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Jika kalian berjumpa dengan mereka maka janganlah kalian dahului mereka mengucapkan salam, dan persempitlah jalan mereka." Zuhair berkata: aku berkata kepada Suhail: "Apakah mereka yahudi dan Nasrani?" Dia menjawab: "Orang-orang musyrik."

Hadits Imam Ahmad Kitab ke-6, Bab Musnad Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu , hadits no 8205 : 

حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ أَخْبَرَنِي سُهَيْلُ بْنُ أَبِي صَالِحٍ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ أَبِي إِلَى الشَّامِ فَكَانَ أَهْلُ الشَّامِ يَمُرُّونَ بِأَهْلِ الصَّوَامِعِ فَيُسَلِّمُونَ عَلَيْهِمْ فَسَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تَبْدَءُوهُمْ بِالسَّلَامِ وَاضْطَرُّوهُمْ إِلَى أَضْيَقِهِ

Telah menceritakan kepada kami ['Affan] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] telah mengabarkan kepadaku [Suhail bin Abu Shalih] ia berkata; Aku bersama [bapakku] keluar ke Syam, dan kebiasaan penduduk Syam adalah selalu memberi salam kepada para pemilik gereja (pendeta), lalu aku mendengar bapakku berkata; Aku mendengar [Abu Hurairah] berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Bersabda: "Jangalah kalian mendahului mereka dalam mengucap salam, dan persempitlah mereka di jalanan."


2. Kajian Balaghah

a. Analisis Balaghah Surah Al-Mujadilah (58:22)
Ayat ini menggunakan frasa "la tajidu" (kamu tidak akan mendapati) yang menegaskan larangan yang sangat kuat. Secara balaghah, penggunaan kata "tawallaw" (saling berkasih-sayang) menunjukkan hubungan yang sangat akrab, yang dalam konteks ini dilarang terhadap orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Ini menunjukkan sikap tegas terhadap batasan interaksi sosial dengan non-Muslim.

b. Analisis Balaghah Surah At-Tawbah (9:29)
Ayat ini menggunakan kata "qātilū" (perangilah) yang menunjukkan tindakan tegas terhadap orang yang tidak beriman. Secara balaghah, ini menegaskan sikap keras terhadap non-Muslim dalam konteks tertentu. Kata "jizyah" dan "ṣāghirūn" menekankan keadaan ketundukan mereka, menunjukkan adanya hierarki dalam hubungan Muslim dengan non-Muslim.

c. Analisis Balaghah Hadis Riwayat Muslim
Hadis ini menggunakan frasa "lā tabda'ū" (janganlah kalian memulai) yang menunjukkan larangan tegas. Secara retorika, ini menegaskan sikap pemisahan dan eksklusivitas dalam memulai salam. Penggunaan kata "yahūd" dan "naṣārā" secara eksplisit menunjukkan kelompok yang dimaksud, menandakan bahwa larangan ini adalah khusus untuk interaksi dengan mereka.

3. Kajian Kaidah Ushul Fiqih

a. Kaidah "Al-amru lil wujūb"
Perintah menunjukkan kewajiban. Hadis yang melarang memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani menggunakan kata perintah negatif ("lā tabda'ū"), yang menunjukkan bahwa larangan ini bersifat wajib dihindari menurut kaidah ini.

b. Kaidah "Al-man'u asyaddu min an-nahy"
Larangan lebih kuat dari sekadar teguran. Dalam konteks hadis yang melarang memulai salam, ini menunjukkan bahwa larangan tersebut sangat tegas dan serius.

c. Kaidah "Al-khāṣṣ muqaddam 'ala al-'ām"
Ketentuan khusus lebih diutamakan daripada ketentuan umum. Ayat-ayat Alquran yang memerintahkan kebaikan kepada semua manusia adalah umum, sedangkan hadis yang melarang memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani adalah khusus, sehingga yang khusus ini lebih diutamakan dalam penerapannya.

4. Kesimpulan
Berdasarkan analisis balaghah dan kaidah ushul fiqih terhadap dalil-dalil Alquran dan hadis, ada dasar yang kuat untuk melarang mengucapkan salam kepada penganut agama lain, khususnya Yahudi dan Nasrani. Ayat-ayat dan hadis-hadis yang relevan menunjukkan adanya pembatasan dan sikap tegas dalam interaksi sosial dengan non-Muslim dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, dalam perspektif hukum Islam, menghindari memulai salam kepada penganut agama lain dapat dipahami sebagai tindakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat yang menekankan identitas dan batasan interaksi dalam masyarakat yang beragam.


Semoga bermanfaat,
Pengasuh Mahad Bahasa Adab