Kisah Sufi: Si Ucapan Manis, Namun Hatinya Pahit
Si Ucapan Manis, Namun Hatinya Pahit
Di kota tua Basrah, hidup seorang lelaki bernama Ḥāriṡ bin Wāsi‘. Penampilannya tampak seperti orang saleh—berjubah putih, selalu membawa tasbih, rajin hadir di majelis dzikir. Orang-orang memanggilnya “Abū Tawbah” (bapak tobat), karena ia sering berkata:
"Aku ini pendosa, tapi sedang dalam jalan tobat."
Namun di balik jubah itu, Ḥāriṡ menyimpan kebusukan: diam-diam ia suka menipu teman-temannya, menggoda para wanita dengan janji palsu, dan hidup dengan kepura-puraan.
Suatu hari, seorang sufi, sang pengimis miskin mendekatinya dan berkata:
“Wahai Ḥāriṡ, tobat bukan tentang yang tampak. Kalau hatimu masih menyukai dosa, maka ucapanmu hanyalah hiburan nafsu.”
Ḥāriṡ tersenyum sinis, dan menganggapnya si pengemis itu gila.
Tahun demi tahun berlalu. Hingga suatu malam, Ḥāriṡ jatuh sakit keras. Di ambang kematian, ia berteriak histeris:
"Aku belum sempat bertaubat!, dan Aku belum sungguh-sungguh! bertaubat"
Namun terlambat. Malaikat maut datang dalam rupa yang mengerikan. Ia meninggal dalam ketakutan, wajahnya menghitam dan kaku. Penduduk kota pun enggan menyolatkannya, kecuali si pengemis itu seraya berkata:
“Ia sibuk merias tubuhnya, tapi lupa membersihkan ruhnya.”
Ada sebuah nasehat yang mengatakan:
مَن تَظَاهَرَ بِالتَّوْبَةِ وَقَلْبُهُ يُحِبُّ الذَّنْبَ، فَقَدِ اسْتَهْزَأَ بِرَحْمَةِ اللهِ
"Siapa yang berpura-pura tobat sementara hatinya mencintai dosa, sungguh ia telah mempermainkan rahmat Allah."
Tobat sejati bukan sekadar kata-kata atau pakaian keagamaan. Bila hati masih bersenang-senang dalam dosa, maka “tobat” hanyalah topeng. Dan Allah tidak tertipu oleh topeng manusia.
Wallahu'alam