Kisah Sufi: Wanita Pengibur Dan Tobat
Di sudut kota yang penuh cahaya namun gelap oleh hati manusia, hiduplah seorang wanita bernama Ṣā'ibah. Ia bukan perempuan mulia menurut masyarakat. Ia dikenal sebagai penyanyi malam, pemikat lelaki, penjual tawa dan tubuh di rumah hiburan yang ramai namun sunyi dari Tuhan.
Orang-orang mencibir, mencela, bahkan meludah jika menyebut namanya. Namun mereka lupa—bahwa Allah melihat air mata, bukan sekadar nama.
Setiap malam, ketika lampu panggung padam dan musik berhenti, Ṣā'ibah duduk sendiri di pojok ranjangnya, memeluk lutut, dan menangis seperti anak kecil yang kehilangan rumah. Dalam bisikan yang hanya didengar para malaikat malam, ia berkata:
"Yā Allāh... aku pura-pura kuat dalam maksiat, tapi hatiku sebenarnya ingin pulang. Aku tersesat, tapi aku masih ingat arah-Mu."
Ia masih belum mampu berhenti. Dosa masih menjeratnya. Tapi setiap malam ia terus menyirami benih niat yang ia tanam di tanah hati yang retak.
Suatu malam, angin membawa langkah kakinya ke sebuah masjid tua. Di sana, seorang sufi alim sedang berbicara kepada murid-muridnya:
“Ingatlah, Pintu tobat Allah itu terbuka hingga ruh menyentuh kerongkongan. Jangan tanya seberapa jauh engkau dari-Nya. Tanyalah: masihkah engkau mau melangkah walau satu tapak? Karena satu tapak ke arah-Nya akan disambut seribu pelukan rahmat-Nya.”
Kata-kata itu menusuk dada Ṣā'ibah lebih dalam dari panah manusia. Ia pulang dengan mata bengkak dan dada gemetar. Malam itu, ia tidak menangis. Ia bersujud—untuk pertama kalinya.
Pagi harinya, ia tinggalkan rumah hiburan. Tidak ada rias wajah. Tidak ada parfum. Hanya tubuh lemah dan hati penuh harap. Ia berjalan menuju majelis sufi itu, ingin meminta doa, ingin dimandikan cahaya.
Namun di tengah jalan, tubuhnya goyah. Ia terjatuh. Wajahnya menempel tanah. Orang-orang panik, tapi Ṣā'ibah tenang. Di detik-detik terakhir, ia tersenyum, lalu berkata lirih:
"Ya Allah, Aku tak ingin mati sebagai penghibur dunia... Aku ingin wafat sebagai hamba yang sedang pulang kepada-Mu."
Dan ia pun wafat—dalam keadaan sujud di jalan-Nya, bukan di panggung dunia.
Beberapa malam kemudian, salah sang sufi dan beberapa muridnya bermimpi melihat Ṣā'ibah duduk di taman surga, memakai pakaian putih, dikelilingi burung-burung cahaya. Sang sufi pun berkata kepada murid-muridnya:
“Ketauilah, Shaibah berpura-pura ingin tobat selama hidupnya… lalu Allah kabulkan pura-pura itu menjadi nyata, karena air matanya jujur.”
Dari cerita ini ada satu nasehat yang mengatakan:
مَنِ ادَّعَى التَّوْبَةَ وَهُوَ يَبْكِي لِأَجْلِهَا، رُبَّمَا يَكُونُ صَادِقًا فِي آخِرِ نَفَسِهِ
"Siapa yang mengaku ingin bertaubat dan menangis karenanya, boleh jadi ia benar-benar tulus di akhir hayatnya."
Allah tidak menilai seberapa lama kita hidup dalam dosa, tapi seberapa sungguh kita ingin keluar darinya. Bahkan pura-pura tobat yang disertai air mata dan kegelisahan batin, bisa menjadi benih kejujuran yang mekar di ujung ajal. Karena:
Yang penting bukan berapa kali kita jatuh, tapi ke mana arah hati saat kita jatuh terakhir kali.
Wallahu'alam