Khotbah Jumat: Meneladani Nabi Muhammad Saw di Hari Kelahirannya
KHOTBAH PERTAMA
الْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهَ، أَمَّا بَعْدُ.
أُوصِيكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
Jemaah Shalat Jumat Yang Dimuliakan Allah Swt.
Riwayat yang paling masyhur, Nabi Muhammad Saw adalah lahir pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal tahun Gajah atau sekitar tahun 570M. Dan hari ini adalah 12 Rabiul Awwal dimana umat Islam di seluruh penjuru dunia memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an mengajarkan agar kita selalu mengingat ayyāmullāh —hari-hari Allah, hari-hari penuh nikmat dan pelajaran. Hal ini sebagaimana firmannya dalam surat Ibrāhīm ayat 5:
اَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ وَذَكِّرْهُمْ بِاَيّٰىمِ اللّٰهِ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُوْرٍ
“Keluarkanlah kaummu dari berbagai kegelapan kepada cahaya (terang-benderang) dan ingatkanlah mereka tentang hari-hari Allah.” Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang yang sangat penyabar lagi banyak bersyukur.
Kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah termasuk dari hari-hari Allah Swt, sebuah nikmat terbesar, karena dengan kelahiran beliau, manusia dikeluarkan dari kegelapan menuju cahaya, dari perbudakan menuju kemerdekaan.
Bahkan Nabi Muhammad Saw sendiri bersyukur dengan kelahirannya, hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الِاثْنَيْنِ؟ فَقَالَ: "فِيهِ وُلِدْتُ، وَفِيهِ أُنزِلَ عَلَيَّ".
Dari Abu Qatadah al-Anshari Ra, sesungguhnya Rasulullah Saw pernah ditanya tentang (alasan) beliau berpuasa pada hari Senin. Maka beliau bersabda: “Pada hari itu aku dilahirkan, dan pada hari itu pula diturunkan wahyu kepadaku.” (HR. Muslim)
Jadi memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw adalah sebagai wujud syukur kepada Allah Swt atas nikmat terbesar yang Allah berikan kepada umat manusia.
Ma‘āsyiral Muslimīn Rahimakumullāh,
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw seyogyanya bukanlah sekadar seremonial dengan pangung-panggung yang besar dan makanan-makanan yang melimpah. Yang terpenting adalah meneladani dan mencontoh akhlak beliau dalam kehidupan sehari-hari kita antara lain:
1. Menjadi pemimpin yang hidup sederhana
Suatu hari, seorang sahabat melihat Rasulullah Saw di rumahnya yang sangat sederhana. Tidak ada kasur empuk, hanya tikar kasar yang membekas di punggung beliau. Tidak ada makanan istimewa, hanya sebutir kurma kualitas paling jelek dan air putih. Sahabat itu pun tertegun, lalu berkata dalam hatinya, “Andai Nabi mau, seluruh harta umat bisa ada di tangannya. Tapi mengapa beliau memilih hidup sesederhana ini?”
Hal ini dapat kita lihat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahinya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ ﷺ مِنْ طَعَامٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ حَتَّى قُبِضَ
Dari Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata bahwa: “Keluarga Nabi Muhammad Saw tidak pernah kenyang makan selama tiga hari berturut-turut hingga beliau wafat.” (HR. Bukhari)
Itulah Rasulullah Saw, pemimpin yang tidak pernah membiarkan dirinya hidup berlebih-lebihan, karena beliau ingin selalu dekat dengan umatnya, ingin merasakan lapar seperti rakyanya yang lapar, ingin sabar seperti rakyatnya yang sabar.
Sungguh, seandainya beliau mau, Rasulullah Saw bisa saja menjadi manusia terkaya. Tetapi beliau memilih menjadi pemimpin yang hatinya penuh kasih sayang, bukan perutnya yang penuh makanan.
Bandingkan dengan keadaan hari ini. Betapa banyak pemimpin yang duduk di kursi kekuasaan, hidup mewah dan berlimpah, sementara rakyat kecil masih menjerit dalam kehidupan yang susah.
Dari hadis ini, Rasulullah Saw menunjukkan kepada kita, bahwa kemuliaan seorang pemimpin bukan diukur dari seberapa besar harta yang ia miliki, tetapi dari seberapa dalam ia peduli dan ikut merasakan derita rakyatnya.
2. Pemimpin yang lemah lembut meski dicaci maki.
Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya dari Aisyah Ra: disebutkan bahwa Pada suatu hari Rasulullah Saw sedang duduk bersama para sahabat. Tiba-tiba datang sekelompok orang Yahudi yang ingin masuk menemui beliau. Dengan nada sinis penuh kebencian mereka mengucapkan:
السَّامُ عَلَيْكَ
“kematian atasmu.” (wahai Muhammad)
Bayangkan, Rasulullah Saw, seorang pemimpin agung, dihina secara terang-terangan dihadapan para sahabat dan keluarganya. Mendengar itu, ‘Aisyah Ra yang duduk di samping beliau, tidak tahan. Ia langsung membalas dengan mengucapkan:
بَلْ عَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ
“Bahkan atas kalianlah (wahai Yahudi) kematian dan laknat!”
Sebuah jawaban yang wajar dari seorang istri yang sangat mencintai suaminya. Namun Rasulullah Saw menoleh kepada 'Aisyah dengan lembut, lalu bersabda:
يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ
“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah Maha Lembut dan Dia mencintai kelembutan dalam setiap perkara.”
Aisyah masih heran kenapa Nabi tidak marah, seraya berkata:
أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا
“Tidakkah engkau mendengar apa yang mereka ucapkan?”
Kemudian Nabi Saw menjawab dengan tenang, Bukankah aku sudah menjawab:
وَعَلَيْكُمْ
“dan atas kalian juga” (wahai Yahudi)
Subhanallah, Beginilah akhlak seorang pemimpin sejati. Dicaci, beliau tidak mencaci. Dihina, beliau tidak mengumbar amarah. Rasulullah Saw mengajarkan bahwa kelembutan lebih kuat daripada kemarahan, dan ketenangan lebih mulia daripada balas dendam.
Betapa berbeda dengan sebagian pemimpin kita hari ini. Sedikit kritik dari rakyat saja sudah dianggap ancaman. Suara kebenaran dianggap perlawanan. Mereka lebih cepat marah daripada mendengar, lebih suka membungkam daripada bermusyawarah.
Padahal, pemimpin sejati tidak diukur dari seberapa keras suaranya, melainkan seberapa luas kesabarannya. Tidak diukur dari seberapa tinggi kursinya, melainkan seberapa rendah kelembutan hatinya.
Ada pepatah yang mengatakan: “Air yang tenang justru menghanyutkan, sedangkan angin ribut hanya membuat debu beterbangan.” Begitulah kelembutan Rasulullah Saw, tenang, namun menggerakkan hati umatnya sepanjang zaman.
3. Pemimpin yang paling suka berusyawarah.
Dalam sejarah Perang Khandaq, kaum Muslimin menghadapi ancaman besar dari sekutu Quraisy dan pasukan Ahzab. Jumlah musuh jauh lebih banyak, persenjataan lebih lengkap. Dalam keadaan genting itu, Rasulullah ﷺ tidak bertindak sewenang-wenang, tidak merasa paling tahu, dan tidak menolak pendapat orang lain.
Beliau justru mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Dari sahabat Salman al-Farisi muncul usul yang belum pernah dikenal oleh bangsa Arab: yakni menggali parit besar sebagai benteng pertahanan. Apa yang dilakukan Rasulullah Saw? Beliau menerima usul itu, lalu terjun langsung bersama para sahabat menggali tanah dengan tangan beliau sendiri. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَمَّا اسْتَشَارَ النَّبِيُّ ﷺ أَصْحَابَهُ فِي الْأَحْزَابِ، أَشَارَ عَلَيْهِ سَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ بِحَفْرِ الْخَنْدَقِ، فَعَمِلَ النَّبِيُّ ﷺ بِرَأْيِهِ.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Ketika Nabi Saw meminta pendapat para sahabatnya dalam (peristiwa) al-Ahzab, Salman al-Farisi memberi usulan untuk menggali parit (khandaq). Maka Nabi Saw pun melaksanakan usulannya.” (HR. Ahmad)
Nabi Muhammad Saw juga paling suka musyawarah, hal ini sebagaimana hadis yang diriwayakan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab Sunannya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ مُشَاوَرَةً لِأَصْحَابِهِ مِنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya dibanding Rasulullah Saw.” (HR. at-Tirmidzi)
Inilah keteladanan Rasulullah Saw. Beliau seorang Nabi, pemimpin agung, bahkan maksum (suci) dari kesalahan, tetapi tetap membuka telinga dan hati untuk mendengar suara umatnya. Beliau tidak pernah menutup diri dari masukan, apalagi merasa dirinya paling benar.
Bandingkan dengan keadaan pemimpin kita hari ini. Betapa sedikit pemimpin kita yang benar-benar mau mendengar suara rakyat. Betapa jarang yang membuka ruang musyawarah dengan ulama dan orang bijak. Banyak yang lebih percaya pada bisikan kelompoknya sendiri daripada mendengar jeritan rakyat kecilnya.
Padahal, sebuah keputusan tanpa musyawarah ibarat kapal berlayar tanpa kompas: bisa jadi berlayar megah, tetapi berisiko karam di tengah samudera. Rasulullah Saw telah menunjukkan, bahwa kekuatan seorang pemimpin bukan pada kekuasaan mutlaknya, tetapi pada kerendahan hati untuk mendengar rakyatnya.
Ma‘āsyiral Muslimīn Rahimakumullāh,
Meneladani Nabi Muhammad Saw juga berarti menjaga lisan, menjaga sikap ketika berbeda pendapat. Dalam situasi bangsa kita hari ini, banyak suara rakyat yang disampaikan di jalanan, di media sosial, atau forum-forum umum. Itu sah dan diperbolehkan secara syariat, bahkan Rasulullah Saw mengajarkan musyawarah dan keterbukaan.
Tetapi ingat, cara menyampaikan pendapat juga harus sesuai tuntunan syariat. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam Surat Al-Baqarah ayat 83:
... لَا تَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا
… “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuatbaiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Selain itu, bertutur katalah yang baik kepada manusia.
Dan Allah juga mengingatkan dalam surat al-Hujarat ayat 6:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.
Ayat ini menegaskan bahwa kita wajib berhati-hati terhadap hoax, berita bohong, dan provokasi. Jangan sampai emosi dan amarah membuat kita ikut menyebarkan fitnah atau melakukan kerusakan khususnya bagi bangsa ini.
Ma‘āsyiral Muslimīn Rahimakumullāh,
Di hari kelahiran Nabi Muhhamad Saw ini, marilah kita meneladani sifat-sifat mulianya. Mau mendengar kritik dengan lapang dada, berbicara dengan santun, menjauhi hoax, serta berhati-hati terhadap provokator yang ingin memecah belah umat dan bangsa ini.
Ada pepatah yang mengatakan: “Berkata baik itu ibarat menanam benih, yang kelak tumbuh menjadi pohon kebaikan; sementara berkata buruk ibarat menyalakan api kecil, yang bisa membakar hutan persaudaraan.”
Maka, mari kita jaga lisan kita dengan kebenaran dan kelembutan, karena sebagaimana ungkapan hikmah: “Barangsiapa menjaga lisannya, ia menjaga kehormatannya.”
بَارَكَ اللَّهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللَّهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ.
KHOTAB KEDUA
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهَ، أَمَّا بَعْدُ.
قَالَ اللّهُ تَعَالَى: يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْكَائِنِينَ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ.
رَبِّ اجْعَلْنِيْ مُقِيْمَ الصَّلٰوةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْۖ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاۤءِ، رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ.
رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللَّهِ، اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذْكُرُوا اللَّهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.
Penyusun:
Dr. Ir. Adib Shururi, M.Pd.